Bahasa Jawa seperti sekarang ini adalah hasil sebuah proses panjang perjalanan masyarakat Jawa. Dalam perjalanannya, perkembangan bahasa Jawa tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seni-sastra wayang, karena itu dari seni-sastra wayanglah bahasa Jawa bisa ditelisik perkembangannya. Lebih jauh lagi, bahasa Jawa dan seni-sastra wayang adalah hasil proses perjalanan kekuasaan Jawa, dari jaman pra-kolonial, kolonial, hingga pasca-kolonial. Dalam relasi-relasi tersebutlah pembahasan bahasa Jawa dalam bagian ini bertumpu. Pertama, dibahas relasi antara perkembangan bahasa Jawa dalam konteks perkembangan seni-sastra wayang. Kemudian, dibahas relasi antara bahasa dan kekuasaan Jawa yang akhirnya membentuk “cara befikir” masyarakat Jawa. Makalah ini menunjukkan bahwa perkembangan bahasa Jawa berkelindan dengan perkembangan seni-sastra wayang dan kekuasaan Jawa. Makalah ini juga menunjukkan bahwa bahasa Jawa, sebagai produk budaya Jawa, berakar dalam sejarah kekuasaan Jawa yang tidak terlepas dari dinamika relasi-relasi kekuasaan.
Bahasa memiliki beberapa fungsi. Dua di antaranya, yaitu “fungsi refensial dan afektif . . . [yang] sangat erat kaitannya dengan kekuasaan” (Thomas & Wareing, 2007: 14). Fungsi referensial berhubungan dengan “bagaimana kita merepresentasikan/menggambarkan dunia di sekitar kita dan dampak dari representasi itu terhadap cara kita berfikir” (ibid, 14). Sedangkan “fungsi afektif dari bahasa terkait dengan siapa ‘boleh/berhak’ mengatakan apa, di mana ini erat kaitannya dengan kekuasaan dan status sosial” (ibid, 14). Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana bahasa Jawa dalam wayang kulit Jawa Timuran merepresentasikan relasi-relasi kekuasaan dan status sosial pada masyarakat Jawa pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya. Karena perkembangan bahasa Jawa erat kaitannya dengan perkembangan kepemimpinan/kekuasaan Jawa dan wayang kulit makalah ini mencermati bagaimana bahasa Jawa mendapatkan bentuknya yang sekarang ini dalam relasinya dengan perkembangan wayang kulit dan kekuasaan Jawa. 1. Bahasa dalam Seni-sastra Wayang dan Kekuasaan Jawa.
Membahas perkembangan bahasa dalam seni-sastra wayang berarti mengungkapkan bagaimana wayang di(re)produksi dari waktu ke waktu, bagaimana ia berfungsi dalam masyarakatnya, dan bagaimana ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari “teknologi kekuasaan” (Foucault, 1977: 29) yang berkembang dari jaman ke jaman. Sudah begitu banyak peneliti yang membahas seni dan sastra wayang dalam konteks sejarah, sebut saja nama-nama Kats, Hazeu, Brandon, Mulyono, Sears, Haryanto, dll. Banyak pula yang membahas hal-hal lain tentang wayang tetapi juga mencantumkan sejarah wayang sebagai pendahuluan, seperti Soenarto Timoer, Hazim Amir, Umar Kayam, Soetarno, dll. Pembahasan seni dan sastra wayang dalam penelitian ini dilakukan dengan arah yang berbeda, yaitu dengan melihatnya sebagai produk budaya yang dimaknai dan memberi makna kepada masyarakat Jawa berdasarkan bentuk dan relasi kekuasaan dalam sejarah kekuasaan Jawa. Dengan kata lain, wayang kulit sebagai produk budaya tidak dilihat secara ‘generik’, yaitu budaya dipahami sebagai “warisan yang secara turun temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif”, tetapi dilihat secara ‘diferensial’, yang dipahami sebagai sesuatu “yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial . . . yang keberadaannya tergantung kepada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu” (Abdullah, 2006: 9-10). Membaca seni dan sastra wayang dalam konteks sejarah kekuasaan Jawa memberikan gambaran bagaimana seni dan sastra wayang berkait erat dengan kekuasaan Jawa.
Seni dan sastra wayang tumbuh sebagai produk budaya dalam pusat-pusat kebudayaan Jawa, keraton/istana, sehingga bisa dikatakan bahwa wayang kulit berawal dari budaya keraton (court culture). Timbulnya wayang di Jawa “mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perkembangan sejarah [kekuasaan di Jawa] sejak masa sebelum bangsa Hindu datang di Indonesia sampai Indonesia merdeka saat ini” (Haryanto, 1988: 24). Maka dari itu sejarah wayang sebagai bagian dari sejarah Jawa tidak lepas dari sejarah kekuasaan Jawa. Sejarah Jawa tidak lepas dari konflik kekuasaan yang penuh dengan pergolakan, sehingga setiap rezim umurnya tidak terlalu lama. Rezim yang paling lama adalah Kerajaan Majapahit, di mana Hayam Wuruk saja berkuasa selama lebih kurang 39 tahun (1350-1389). Setelah itu, kerajaan-kerajaan Islam dari Demak hingga Mataram penuh dengan peperangan dan perebutan kekuasaan, apa lagi dengan hadirnya VOC saat itu. Dari perebutan kekuasaan tersebut, pusat-pusat kerajaan bergeser sesuai dengan tempat kerajaan baru didirikan. Misalnya, kerajaan Mataram Kuno/Hindu berpusat di Jawa Tengah, Singasari dan Majapahit berpusat di Jawa Timur, dan Mataram Islam berpusat di Jawa Tengah kembali. Yang perlu dicatat dari sejarah kekuasaan Jawa adalah bahwa setiap ada pusat kerajaan baru, bukan berarti kerajaan lama harus musnah. Memang banyak kasus yang menunjukkan bahwa kerajaan lama bisa dibumi-hanguskan, seperti kasus kerajaan Majapahit, tetapi seringkali raja yang kalah hanya ‘turun pangkat’ menjadi bupati atau adipati, yang berfungsi sebagai ‘raja kecil’ di kerajaan yang dahulu ia duduki, sehingga yang berubah hanyalah pusat dan orientasi kekuasaannya saja. Misalnya, ketika kerajaan Kediri dikalahkan kerajaan Singasari, Kediri menjadi semacam kadipaten saja. Ketika adipati Kediri memberontak, menyerang dan mengalahkan Singasari, Singasari, sebaliknya, menjadi daerah bawahan Kediri lagi.
Wayang, yang merupakan hiburan sekaligus alat ritual masyarakat Jawa yang bersumber dari dalam istana, tentu saja berubah sesuai dengan perubahan kekuasaan yang ada. Perubahan itu bisa dari isi, bentuk wayang, struktur pertunjukan, cerita, atau penambahan karakter wayang. Memang perdebatan asal usul wayang sendiri (seni wayangnya, bukan sastranya) sering dibawa ke jaman pra-sejarah. Pembahasan ini biasanya ditujukan pada asal-usul seni wayang, apakah dari India, Cina, atau Jawa dengan mengutip pendapat dari peneliti-peneliti sebelumnya seperti Hazeu, Kats, atau Kusumodilogo (lihat Mulyono, 1982; Sutrisno, 1984; Haryanto, 1988; Amir, 1994, dll). Lebih jauh, Brandon (1989) mengatakan, “Tanpa mempertimbangkan apakah penemuan teater bayang-bayang dari Cina, India, atau Jawa, Wayang Kulit telah berkembang ke arah kematangan menjadi fenomena Jawa yang asli tak ada bandingnya baik di India mau pun Cina” (92). Arah kematangan itu tidak lepas dari sejarah kekuasaan di Jawa.
Menurut narasi sejarah pada umumnya, wayang purwa dimulai ketika kerajaan Mataram Kuno ini diperintah oleh Prabu Dyah Balitung (898-910 M), yang memerintahkan penerjemahan Ramayana dari bahasa Sansekerta dari India ke bahasa Jawa Kuno atau Kawi, yang menyebut kata ‘mawayang’ (Sena Wangi, 1983; Timoer, 1988; Haryanto, 1988) yang dianggap asal kata wayang. Menurut Amir (1994), pada saat itu “pertunjukan wayang sudah ada pada tahun 907 seperti dibuktikan oleh prasasti Balitung, ‘ . . . si Geligi buat Hyang macarita Bhima ya kumara . . . ‘ [Geligi mengadakan pertunjukan wayang dengan cerita Bhima muda]” (34). Jaman ini bisa dianggap sebagai awal perkembangan seni dan sastra. Jika benar bahwa seni wayang asli Jawa dan baru pada jaman Mataram Kuno ini dimasuki cerita (sastra) Ramayana dan Mahabarata, maka raja-raja Hindu telah memanfaatkan seni wayang dari jaman pra-sejarah untuk kepentingan ritual agama mereka. Seni wayang lokal dikawinkan dengan sastra wayang dari India, yang merupakan sastra yang berhubungan dengan agama Hindu.
Satu golongan elit kependetaan yang baru, mungkin pada permulaan sebagian besar orang India, yang tentunya telah aktif di sekitar pemimpin-pimimpin yang kuat yang mereka Hindukan, dan kemudian mentasbihkannya sebagai raja yang ilahi. Raja-raja ini diandaikan sebagai inkarnasi temporer di atas bumi dari dari beberapa dewa Hindu dan Buddha, dan praktek ini menaikkan pemujaan kepada raja sebagai kesinambungan langsung dari leluhur asli, termasuk pemujaan kepada pemimpim-pemimpin yang telah meninggal. (Holt, 2000: 33)
Ritual wayang yang animistik dijadikan Hinduistik, dan karakter-karakternya disesuaikan dengan karakter-karakter Hindu dalam Ramayana dan Mahabarata dan karakter-karakter ini dihubungakan dengan raja-raja yang sedang berkuasa. Maka terjadi relasi yang saling membangun antara penguasa politik (raja), penguasa agama (para pendeta Hindu), para seniman kerajaan (dalang), dan masyarakat yang mendapatkan layanan ritual keagamaannya. Pihak kerajaan mendapatkan legitimasi sebagai penguasa keturunan dewa, para pendeta bisa mengembangkan ajarannya, para pujangga dan dalang mendapatkan tempat untuk berekspresi sekaligus menikmati posisi sosial tertentu, dan masyarakat mendapatkan layanan ritualnya.
Pada tahun 928-1222 Masehi, pusat kerajaan Jawa pindah ke timur, disekitar Gunung penanggungan (lihat Muljana, 2006) dengan kerajaan bernama Panjalu. Tidak jelas mengapa pusat kekuasaan bergesar ke timur. Menurut Onghokham, “berpindahnya kekuasaan politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh larinya penduduk dari Jawa Tengah yang terlalu berat menderita tekanan dari peradaban monarki itu” (1983:173). Jika ini benar, kemungkinan perlahan-lahan terjadi bentuk monarki yang baru di Jawa Timur yang semakin kuat dan Mataram surut menjadi kerajaan kecil. Menurut Kartodirdjo dkk., raja Sanjaya adalah ayah Syailendra, dan setelah bertemu dengan pendeta Bhudda yang datang dari daratan Cina, ia memerintahkan anaknya untuk memeluk Bhudda. Akhirnya, keturunan Sanjaya yang masih memeluk Hindu pergi ke timur. Namun demikian, masih dipercaya bahwa di Jawa Tengah dua dinasti masih berdampingan, yaitu dinasti Sanjaya yang Hindu dan Syailendra yang Bhudda (1975:77-79). Jika ini benar, dari keturunan Sanjaya yang pergi ke timur itulah muncul penguasa baru di Panjalu/Kediri. Kerajaan ini membesar sedangkan dua kerajaan Mataram di Jawa Tengah menjadi surut. Pada jaman Prabu Darmawangsa (991-1016 M) di timur ini, Mahabarata diterjemahkan/diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Kuno, dari 18 parwa digubah menjadi 9 parwa (Sena Wangi, 1983), atau disadur hanya 9 parwa dari 18 parwa (Haryanto, 1988). Selanjutnya, “pada kira-kira tahun 1017 istana Dharmawangsa dibakar dan raja Dharmawangsa terbunuh. Tetapi menantunya yang bernama Airlangga bisa menyelamatkan diri . . . dan pada tahun 1019 berhasil merebut tahta” (Mulyono, 1982:68). Setelah merebut tahta, Airlangga memindahkan kerajaan ke daerah Kediri. Seni dan sastra wayang mulai membumi di tanah Jawa pada jaman Airlangga ini (1019 – 1042 M), saat berkembangnya kesusastraan Jawa, dengan adanya kitab Arjunawiwaha yang ditulis oleh Mpu Kanwa (1030) (Sena Wangi, 1983). Selanjutnya, dalam catatan Slamet Muljana (2006), pada akhir pemerintahan Airlangga ini kerajaan dibagi menjadi dua untuk kedua anaknya. Kedua kerajaan itu dibatasi oleh sungai Brantas, sebelah barat bernama Panjalu (Kediri) untuk yang muda dan sebelah timur bernama Jenggala (sekitar Sidoarjo) utuk anak yang lebih tua. Kedua anak Airlangga ini saling bermusuhan, sehingga sering terjadi peperangan. Permusuhan di antara keturunan Airlangga ini berakhir dengan peperangan pada jaman Prabu Jayabaya (1135-1157) dengan kemenangan di pihak Panjalu atau Kediri.
Pada jaman prabu Jayabaya, yang namanya berhubungan erat dengan kesusastraan Jawa, ada pujangga Mpu Sedah yang menulis Bharatayudha yang diselesaikan oleh Mpu Panuluh, yang juga menulis Gathutkacasraya. Muljana (2006) bahkan mencatat bahwa Bharatayudha sengaja digubah atas perintah Prabu Jayabaya setelah kemenanganya atas kerajaan Jenggala yang lebih tua. Karena dalam keyakinannya membunuh orang yang lebih tua itu dosa, maka perlu ada ruwatan dengan digubahnya Bharatayuda (40-51). Maka kisah Mahabharata pada jaman tersebut tidak terlepas dari dimensi lokalnya, yaitu perebutah kekuasaan antara dua anak Airlangga. Di bidang seni wayang, di jaman Kediri inilah terjadi “peralihan bentuk tiga dimensi di atas candi ke bentuk dua dimensi (wayang) dari kesenian Jawa Timur” (Onghokham, 1983:174). “Terkesan oleh ukir-ukiran (relief) yang terdapat pada candi Penataran di Blitar, Jawa Timur, maka pada tahun 939 Prabu Jayabaya membuat gambar-gambar dari cerita wayang pada daun Tal (lontar) . . . dan saat itulah timbul Wayang Purwa untuk pertama kali” (Haryanto, 1988:188). Di jaman ini, bentuk wayang sudah mendekati bentuk masa kini, barangkali mirip wayang Bali. “Tetapi wayang-wayang dahulu masih belum bisa dimainkan, karena tangan-tangannya masih melekat menjadi satu dengan badan” (189). Di jaman ini wayang juga sudah mulai ditatah di kulit sapi (189), dan ceritanya tentu saja berisi ceritera Mahabarata dan Ramayana yang sudah disesuaikan dengan situasi penguasa Kediri. Seni dan sastra wayang berkembang lebih jauh pada jaman Majapahit. Menurut surat Centhini, di jaman ini wayang digambar di atas kertas Jawa, yang dilakukan oleh seorang putra raja yang pandai menggambar, bernama Raden Sungging Prabangkara, di tahun 1380an Masehi (Senawangi, 1983). “Bentuk-bentuk wayang mengalami penyempurnaannya dengan diberi warna, digambar di atas kertas atau kain” (Haryanto, 1988:199). Wayang ini disebut wayang beber. “Pementasan wayang beber tersebut diiringan gamelan slendro dan pada jaman itu pulalah kembali ada penulisan cerita-cerita wayang” (199). Isi ceritanya, tentu saja, adalah karya sastra berdasarkan Mahabarata dan Ramayana. Cerita-cerita tersebut antara lain, Arjunawijaya Kakawin, Sudamala, Dewa Ruci Kakawin, dll. (199-200). Yang menarik dari perkembangan seni dan sastra wayang di jaman Majapahit ini adalah timbulnya karakter ‘lokal’ yang betul-betul mempunyai peran. Di jaman Kediri, memang sudah mulai muncul Panakawan, yang tidak terdapat dalam Mahabharata versi India. Dalam Gathotkacasraya, empu Panuluh sudah memperkenalkan panakawan bernama Juru Deh, Punta dan Prasanta. Tetapi perananya belumlah menonjol. Pada jaman Majapahit inilah timbul Semar “sebagai panakawan yang lebih berkesan dari peranan panakawan Juru Deh, Punta dan Prasanta. Di situ, telah jelas peranan Semar sebagai panakawan dan pelawak” (Muljana, 2006:276-277). Inilah yang disebut Muljana sebagai ke-khas-an orang Jawa Timur (Kediri-Majapahit). Mahabharata telah mengalami Jawanisasi, dan sepertinya ini menunjukkan bahwa sejak dahulu penguasa Jawa menyadari bahwa kehadiran mereka lebih berarti jika ada kawula. Pada sisi lain ini juga merupakan bentuk untuk mendapatkan legitimasi dari para kawula, sehingga para kawula, yang tidak merasa diri sebagai priyayi, merasa memiliki representasi dalam wayang. Jika di jaman-jaman sebelumnya mereka menikmati wayang dengan tokoh-tokoh yang berhubungan dengan ritual keagamaan mereka saja, kini mereka mulai mendapatkan representasi dalam dunia wayang sehingga wayang semakin menjadi bagian dari diri mereka.
Mendekati keruntuhannya (1478), Majapahit tercabik-cabik oleh perang saudara memperebutkan tahta dan menjadi lemah sehingga tidak lagi bisa mengontrol daerah-daerah kekuasaannya (lihat Kartodirdjo dkk., 1975: 274-277). Pada masa itu “banyak bupati yang sudah memeluk agama Islam memisahkan diri dari Kekuasaan Majapahit untuk kemudian mendirikan negara sendiri” (Haryanto, 1988:201). Sebagian dari bupati-bupati itu juga anak keturunan raja-raja Majapahit, seperti yang dikatakan Haryanto bahwa “di antara negara pesisir yang menjadi kuat dan besar adalah Demak, di bawah pemerintahan Raden Patah, putra Kertabumi (Brawijaya V) raja Majapahit” (201) dari seorang selir wanita Cina. Raden Patah yang memeluk agama baru, Islam, mengalahkan Majapahit dan “semua perlengkapan upacara kerajaan dipindahkan ke Demak, termasuk wayang dan segala perlengkapannya” (201). Keruntuhan Majapahit, maka dari itu, disebabkan oleh dua hal: “masalah intern, yaitu masalah persengketaan di antara keluarga raja, memperebutkan kekuasaan atas tahta raja” (Kartodirdjo, 1975:276), dan hadirnya kebudayaan baru, Islam (Kartodirdjo, ibid; Mulyono, 1982:77). Dalam catatan Anderson (1990), setelah keruntuhan Majapahit inilah datang “semacam Abad Kegelapan Jawa yang pekat, tersobek-sobek oleh rangkaian peperangan, pembuangan, perampokan, pembantaian dan kelaparan tiada jeda” (429-430). Keruntuhan Majapahit dan perubahan ke kebudayaan baru Demak (1500 M) hingga Mataram (sebelum 1750 M) ini membawa konsekwensi terhadap seni dan sastra wayang. Menurut Moedjanto (1987), salah satu dari penyebab hilangnya seni-sastra Jawa pada masa tersebut adalah perubahan dinasti dari elit penguasa Majapahit ke elit penguasa baru Mataram yang “berasal dari kalangan petani” (45). Pada masa inilah budaya Jawa mengalami ‘keterputusan tradisi” atau “amnesia kultural” (Anderson, 1990: 432). “Budaya Jawa kehilangan suatu budaya dan sastra pejabat-priayi tinggi keraton sebagaimana yang tetap dimiliki oleh bangsa-bangsa seperti Vietnam, Cina, dan Jepang sampai jaman modern” (432).
Pada masa “amnesia kultural” tersebut, seni dan sastra wayang berkembang bersamaan dengan perkembangan bahasa Jawa yang baru. Moedjanto (1987) membuktikan bahwa pada jaman Majapahit, tataran Ngoko-Krama belum ada (46-55). Maka, ketika dengan pengaruh para wali, wayang diubah bentuknya dari menyerupai relief candi atau manusia ke bentuk miring dan terstilisasi seperti sekarang ini agar tidak bertentangan dengan Islam, pada saat yang sama bahasa Jawa mengalami proses Ngoko-Krama hingga sekarang ini. Dari segi seni pertunjukan, berkembang wayang kulit purwa dengan karakter dibuat terpisah dan wayang beber ditinggalkan. Wayang mulai dibuat dari kulit, dan wayang beber yang diambil dari Majapahit dibuat dalam bentuk masing-masing karakter. Dalam pembuatan wayang kulit ini Raden Patah (Sultan Syah Alam Akbar I) didukung oleh para wali. Di jaman inilah pertama kali wayang, yang sekarang disebut sebagai wayang kulit atau wayang purwa, menjadi pertunjukan semalam suntuk. Suluk dan “balungan lakon” (intisari cerita) juga dibuat, yang semuanya itu dilakukan oleh para wali (Mulyono, 1982; Senawangi, 1983; Timoer, 1988; Haryanto, 1988). Pada jaman Mataram, seni-sastra dan bahasa Jawa berkembang saling mempengaruhi. Di antara masa-masa peperangan, nampaknya kesenian wayang kulit tetap menjadi hiburan bagi raja-raja Mataram. Sebelum kerajaan-kerajaan Jawa betul-betul jatuh ketangan VOC, Hamangkurat I sempat menciptakan beberapa wanda wayang kulit. Hamangkurat II menyempurnakan wayang Mataram dan bahkan membuat Wayang Beber Gedog. Pakubuwono I terus menyempurnakan bentuk wayang dan memprakarsai penulisan Kitab Kanda yang sekarang menjadi pakem Yogyakarta (Haryanto, 1988:205-208). Tentu saja wayang kulit bukan sekedar menjadi hiburan. Dengan adanya begitu banyak perang saudara, pertunjukan wayang kulit bisa memberikan semangat bahwa mereka berada di pihak yang benar, sehingga secara sadar atau tidak, ketika menggelar kisah Bharatayuda mereka akan mengidentifikasikan diri sebagai Pandawa yang sedang melawan Kurawa.
Di jaman kolonial, setelah berakhirnya Zaman Kegelapan Jawa (1750) seperti yang dikatakan Anderson, perkembangan wayang kulit menjadi lebih pesat, bersamaan dengan perkembangan baru bahasa Jawa. Namun, “ketika budaya sastra Jawa mulai bangkit kembali . . . bahasa kraton yang kuno dan musykil itu telah lepas dari genggamannya” (1990: 432). Mengenai perkembangan wayang kulit pada masa ini, Sri Mulyono (1982) mengatakan:
Mengingat mereka kurang paham dan kurang menguasai tentang bahasa Kawi, maka salinan-salinan dari naskah-naskah kuna atau penulisan naskah-naskah baru hasilnya jauh menyimpang dari mitos/epos aslinya, sehingga timbullah naskah-naskah yang oleh Dr. Hazeu disebut “naskah yang kurang beres”. Sehingga para dalang, seniman atau budayawan mempergelarkan apa yang mereka ketahui, mereka dengar atau mereka pelajari dari naskah-naskah yang kurang beres sehingga mudah dipahami mengapa terjadi perubahan-perubahan besar dalam cerita . . . (188).
Dengan interpretasi sendiri, para pujangga kerajaan menggubah kembali sastra wayang dengan cerita dan bahasa Jawa yang sesuaikan dengan kebutuhan keraton pada saat itu. Ini semakin membuat pengkratonan bahasa Jawa melalui wayang kulit menjadi semakin gencar, yang berujung pada stratifikasi bahasa Jawa yang semakin rumit. Pada awal masa tersebut, Pakubuwono III membuat wayang sebanyak tiga kotak dan memprakarsai penulisan kitab Arjuna Wiwaha Jarwa (Haryanto,1988:208-209). Haryanto mengatakan bahwa pada pemerintahan Pakubuwono IV, “perkembangan wayang . . . di Surakarta sangat menggembirakan” (209). Ia terus menyempurnakan wayang dan memiliki dua pujangga, Kyai Yosodipuro I & II yang menuliskan kitab-kitab pewayangan (209). Perkembangan ini juga terjadi di Yogyakarta. Akhirnya