Sabtu, 14 Januari 2012

MENCARI SEJARAH SUNDA DENGAN DUA PERAHU

SUDAH sejak tahun 1950-an orang Sunda gelisah dengan
sejarahnya. Lebih-lebih generasi sekarang, mereka selalu
mempertanyakan, betulkah sejarah Sunda seperti yang diceritakan
orang-orang tua mereka? Katanya, kekuasaannya membentang sejak Kali
Cipamali di timur terus ke barat pada daerah yang disebut sekarang
Jawa Barat dengan Prabu Siliwangi sebagai salah seorang rajanya
yang bijaksana. Betulkah?
     Sejarah Sunda memang tidak banyak berbicara dalam percaturan
sejarah nasional. "Yang diajarkan di sekolah, paling hanya tiga
kalimat," kata Dr Edi Sukardi Ekadjati, peneliti, sejarawan dan
Kepala Museum Asia Afrika di Bandung. Isinya singkat saja hanya
mengungkap tentang Kerajaan Sunda dengan Raja Sri Baduga di daerah
yang sekarang disebut Jawa Barat, lalu runtuh.
     Padahal, kerajaan dengan corak animistis dan hinduistis  ini
sudah  berdiri sejak abad ke-8 Masehi dan berakhir  eksistensinya
menjelang abad ke-16 Masehi. Kisah-kisahnya yang begitu panjang,
lebih banyak diketahui melalui cerita lisan sehingga sulit
ditelusuri jejak sejarahnya. Tetapi ini tidak berarti, nenek moyang
orang Sunda di masa lalu tidak meninggalkan sesuatu yang bisa
dilacak oleh anak cucunya karena kecakapan tulis-menulis di wilayah
Sunda sudah diketahui sejak abad ke-5 Masehi. Ini bisa dibuktikan
dengan prasasti-prasasti di masa itu.
     Memang  peninggalan  karya tulis berupa naskah di  masa  itu
hingga  kini belum dijumpai. Tetapi setelah itu ditemukan  naskah
kuno  dalam bahasa dan huruf Sunda Kuno, yakni  naskah  Sanghyang
Siksa  Kanda  Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1518  M  dan
naskah Carita Bujangga Manik yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal
abad ke-16. Suhamir, arsitek yang menaruh minat besar dalam sejarah
Sunda menjuluki naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian sebagai

Antara yang Direkam dan yang Dipercaya

Pergaulanku akhir-akhir ini dengan ketoprak, suatu ragam teater populer tradisional Jawa, menarikku kembali kepada suatu masalah dalam dunia pembentukan teks, yaitu ruang-ruang perkaitan antara histori dan fiksi.
Histori, atau sejarah, sebagaimana dipahami dalam ranah ilmu pengetahuan, adalah suatu bidang ilmu yang mengkaji kejadian-kejadian masa lalu beserta para pelaku dan berbagai konteksnya, dengan menggunakan sumber-sumber data secara kritis.
Di luar ilmu pengetahuan, suatu inti informasi historis dapat dijadikan bahan, atau sumber ilham, untuk menciptakan suatu karya sastra. Baik untuk dibaca saja atau untuk dimainkan sebagai pertunjukan teater ataupun suatu garapan film.
Karya sastra ataupun skenario untuk teater atau film adalah karya fiksi, yang digerakkan oleh imajinasi kreatif penulisnya. Memang tidak dituntut pertanggungjawaban ilmiah dari seorang sastrawan. Ia hanya harus menjaga integritasnya dengan tidak melakukan "penganiayaan" terhadap data historis, meski ia bebas melakukan interpretasi dan pengembangan.
Kesesatan awam
Anggapan seperti itu, ’sesuatu yang tertulis membuktikan kebenarannya’, yang banyak diyakini di kalangan awam, tentulah dapat menyesatkan. Seorang yang meneliti sejarah harus mengawali pekerjaannya dengan melakukan tinjauan kritis terhadap sumber-sumbernya. Untuk sumber yang tertulis perlu lebih dahulu didudukkan: apa tujuan penulisannya, siapa penulisnya, serta apa konteks sosial-ekonomik-budaya-keamanan yang mengitari penulisan sumber tersebut. Sumber lisan pun perlu dikenai kritik sumber yang serupa.
Anggapan bahwa ’yang tertulis pasti benar’ itulah yang banyak dikenakan terhadap historiografi tradisional, yaitu paparan yang diposisikan sebagai bersifat kesejarahan di dalam sastra tradisional. Tambo pada orang Minang dan babad pada orang Jawa adalah contohnya. Setelah dirujuk-silang dengan sumber- sumber lain, telah ditunjukkan bahwa sejumlah informasi di dalam kitab-kitab babad, misalnya Babad Tanah Jawi, mengandung kebenaran sejarah.
(Periksa kajian-kajian MC Ricklefs tentang sejarah Jawa. Meskipun di bagian-bagian lain paparannya bersifat ’membangun mitos’, misalnya pertemuan Senapati di pantai selatan dengan Sunan Kalijaga yang memberinya

JATILAN

Jatilan adalah sebuah kesenian yang menyatukan antara unsur gerakan tari dengan magis. Jenis kesenian ini dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Kesenian yang juga sering disebut dengan nama jaran kepang ini dapat dijumpai di daerah-daerah Jawa.
Mengenai asal-usul atau awal mula dari kesenian jatilan ini, tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan dengan rinci, hanya cerita-cerita verbal yang berkembang dari satu generasi kegenerasi lain. Dalam hal ini, ada beberapa versi tentang asal-usul atau awal mula adanya kesenian jatilan ini, diantaranya adalah sebagai berikut. Konon, jatilan ini yang menggunakan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari bambu ini merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Selain itu, ada versi lain yang menyebutkan, bahwa jatilan menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Adapun versi lain menyebutkan bahwa tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, raja Mataram untuk mengadapi pasukan Belanda.
Pagelaran kesenian ini dimulai dengan tari-tarian oleh para penari yang gerakannya sangat pelan tetapi kemudian gerakanya perlahan-lahan menjadi sangat dinamis mengikuti suara gamelan yang dimainkan. Gamelan untuk mengiringi jatilan ini cukup sederhana, hanya terdiri dari drum, kendang, kenong, gong, dan slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Lagu-lagu yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta, namun ada juga yang menyanyikan lagu-lagu lain. Setelah sekian lama, para penari kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti rancaknya suara gamelan yang dimainkan.
Di samping para penari dan para pemain gamelan, dalam pagelaran jatilan pasti ada pawang roh yaitu orang yang bisa “mengendalikan”roh-roh halus yang merasuki para penari. Pawang dalam setiap pertunjukan jatilan ini adalah orang yang paling penting karena berperan sebagai pengendali sekaligus pengatur lancarnya pertunjukan dan menjamin keselamatan para pemainnya. Tugas lain dari pawang adalah menyadarkan atau mengeluarkan roh halus yang merasuki penari jika dirasa sudah cukup lama atau roh yang merasukinya telah menjadi sulit untuk dikendalikan.
Selain melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti suara gamelan pengiring, para penari itu juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tidak dapat dinalar oleh akal sehat. Di antaranya adalah mereka dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca, menyayat lengan dengan golok bahkan lampu tanpa terluka atau merasakan sakit. Atraksi ini dipercaya merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan

PANEMBAHAN SENOPATI DAN KANJENG RATU KIDUL

Cerita Kemenangan Jawa atas kaum radikal dituturkan dalam Babad Tanah Jawi (the Story of the Land of Java), yang terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia yang puitis merupakan bagian dari kampanye untuk mendukung kultur-kultur Islam lokal, pribumi yang terancam oleh ekstremisme religius.
KINANTHI
(1) Alon tindak kalihipun, Senapati lan sang dewi, sedangunya apepanggya, Senapati samar ngeksi, mring suwarna narpaning dyah, wau wanci nini-nini.
Perlahan jalan keduannya, Senopati dan sang Dewi, selama mereka bertemu, Senopati sebenarnya tidak tahu jelas bagaimana wajah rupa sang Dewi, seperti terlihat nenek-nenek tadi.
(2) Mangke dyah warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati gawok ing tyas, mring warna kang mindha Ratih, tansah aliringan tingal, Senapati lan sang dewi.
Lalu nanti wajah rupa sang Dewi berubah kembali lagi sangat menarik hati, Senopati terpesona hatinya melihat kecantikan si Dewi seperti Ratih, mereka saling mencuri pandang selalu, Senopati dan sang Dewi.
(3) Sakpraptanira kedhatun, narpeng dyah lan Senapati, luwar kanthen tata lenggah, mungging kanthil kencana di, Jeng Ratu mangenor raga, Senapati tansah ngliring.
Setelah sampai di istana, keduanya sang senopati dan Dewi melepas genggaman tangan kemudian duduk, di atas bunga kanthil emas, Jeng Ratu menggeliatkan badannya, senopati selalu melihatnya dengan mencuri pandang.
(4) Mring warnanira Jeng Ratu, abragta sakjroning galih, enget sabil jroning driya, yen narpeng dyah dede jinis, nging sinaun ngegar karsa, mider wrin langening puri.
Melihat pada kecatikan Ratu, mendadak galau/gelisah di dalam hatinya, teringat bahwa si Dewi bukan sejenis manusia, menjadi hilang keinginannya, Senopati berkeliling melihat-lihat keasrian taman puri si Dewi.
(5) Udyana asri dinulu, balene kencana nguni, jaman purwa kang rinebat, Gathutkaca lan wre (k.23 putih, bitutaman dirgantara, bale binucal jeladri,
Keasrian/keindahan taman dipuja-puja, ranjang emas kuno, jaman ketika Gathutkaca dan kera putih merebutkannya, berkelahi di angkasa, ranjang terlempar ke samudera.
(6) Dhawah teleng samodra gung, kang rineksa sagung ejim, asri plataran rinengga, sinebaran gung retna di, widuri mutyara mirah, jumanten jumrut mawarni.
Jatuh di tengah-tengah samudera raya, yang dijaga oleh mahluk halus, halaman yang asri, bertebaran intan-intan megah, mutiara merah, dan bermacam-macam batu jamrud.
(7) De jubine kang bebatur, grebag suwasa kinardi, sinelan lawan kencana, ing tepi selaka putih, sinung ceplok pan rinengga, rukma tinaretes ngukir.
Lantainya agak tinggi, dengan hiasan emas, ditepinya emas putih, berbentuk bunga-bunga mekar dan hiasan

Sejarah Kabupaten Pekalongan

Keberadaan Kabupaten Pekalongan secara administratif sudah berdiri cukup lama yaitu 3812 tahun yang lalu. Berdasarkan kajian ilmiah oleh Tim Peneliti Sejarah Kabupaten Pekalongan muncul lima prakiraan tentang kapan Kabupaten Pekalongan itu lahir, lima prakiraan yang menjadi kajian adalah masa prasejarah, masa Kerajaan Demak, masa Kerajaan Islam Mataram, masa Penjajahan Hindia Belanda dan masa Pemerintahan Republik Indonesia.
Hari Jadi Kabupaten Pekalongan telah ditetapkan pada Hari Kamis Legi Tanggal 25 Agustus 1622 atau pada 12 Robiu’l Awal 1042 H pada masa pemerintahan Kyai Mandoeraredja, beliau merupakan Bupati/Adipati yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo / Raja Mataram Islam dan sekaligus sebagai Bupati Pekalongan I, sedangkan penentuan hari dan tanggalnya diambil dari sebagaimana tradisi pengangkatan Bupati dan para pejabat baru dilingkungan Kerajaan Mataram.
Pembangunan Kabupaten Pekalongan sudah dilakukan sejak zaman Pemerintahan Adipati Notodirdjo (1879 -1920 M) di komplek Alun-alun utara no 1 Kota Pekalongan, bangunan tersebut merupakan rumah bagi para Bupati Pekalongan sekaligus sebagai tempat aktivitas perangkat pemerintahan dengan berbagai elemen masyarakat untuk bersilaturakhmi, bermusyawarah dan mencurahkan pemikiran atau unek-unek berbagai kehendak dihadapan bupati.
Proses pemindahan Ibukota Kabupaten Pekalongan diawali dengan peresmian sekaligus penggunaan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Pekalongan di Kajen oleh Bupati Drs. H Amat Antono pada tanggal 25 Agustus 2001, kepindahan itu merupakan salah satu tonggak sejarah sebagai momen diawalinya Kajen sebagai Ibukota Kabupaten Pekalongan. Secara bertahap pembangunan untuk melengkapi prasarana menjadi simpul-simpul penggerakan dan pengembangan sebagai sebuah ibukota kabupaten juga telah dibangun rumah dinas Bupati dan Pendopo yang selesai bertepatan dengan hari Jum’at Pon 19 Dzulhijjah 1423 H atau tanggal 21 Pebruari 2003 yang diresmikan secara langsung oleh Menteri Dalam Negeri Bapak Hari Sabarno atas nama Presiden Republik Indonesia Ibu Hj. Megawati Soekarnoputri pada tanggal 5 April 2003. Untuk peringatan hari jadi Kabupaten Pekalongan pada tahun 2006 ini adalah merupakan peringatan hari jadi yang ke 834 tahun.
Sejarah berdirinya Pekalongan
Berdasar hasil penelusuran dan pengidentifikasian data-data historis Kabupaten Pekalongan sebagaimana tertuang dalam Buku Hari Jadi Kabupaten Pekalongan, sejarah berdirinya Kabupaten Pekalongan dapat diuraikan sebagai berikut :

a.       Masa Prasejarah
Data permukiman awal dari masa prasejarah dan awal masa sejarah kuno sebagaimana ditunjukan oleh adanya peninggalan megalitik dan lingga yoni dibeberapa tempat di daerah Kabupaten Pekalongan di bagian selatan menunjukan bahwa pemukiman penduduk telah berlangsung lama dan telah mengenal sistem kemasyarakatan dan keagamaan. Sistem kemasyarakatan yang bagaimana tidak dapat diketahui pasti karena terbatasnya sumber informasi.
Beberapa peninggalan penting yang dimaksud antara lain:
    1. Lingga/ Yoni di Desa Telaga Pakis Kecamatan Petungkriyono.
    2. Yoni di Dukuh Gondang Desa Telogoindro Kec. Petungkriyono.
    3. Lingga di Dukuh Mudal di Desa Yosorejo Kec. Petungkriyono.
    4. Lingga Yoni di Dukuh Parakandawa, Desa Sidomulyo Kec. Lebakbarang.
    5. Yoni di Dukuh Pajomblangan Kecamatan Kedungwuni.
    6. Yoni di Dukuh Kaum Desa Rogoselo Kecamatan Doro.
    7. Yoni di Desa Batusari Kecamatan Talun.
    8. Archa Ghanesha di Desa Kepatihan Kecamatan Wiradesa.
    9. Archa Ganesha di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono.
    10. Batu lumpang di Desa Depok Kecamatan Lebakbarang.
    11. Batu Lumpang di Dukuh Kambangan di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono dan sebagainya.
Data pemukiman pada periode awal Abad masehi sampai Abad XIV dan XV sangat langka dan terbatas, sehingga sulit dipastikan pertumbuhan dan perkembangan komunitas di wilayah Pekalongan pada masa pengaruh kebudayaan Jawa Hindu berkembang di Jawa. Hal ini terjadi karena sampai masa kini belum ditemukan prasasti peninggalan tertulis yang mampu mengungkapkan kehidupan pada masa itu. Banyak ditemukan toponim, beserta tradisi lisan, berupa legenda mitos, atau cerita rakyat yang berkaitan dengan toponim, akan tetapi sulit untuk memastikan kebenaran data legenda atau

SUNAN

Sunan Gresik

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.

Asal keturunan

Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang'gala".
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.

Penyebaran agama

Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior di antara para Walisongo lainnya. Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.

Legenda rakyat

Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah

AKHIR MAJAPAHIT

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.[7].

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara[19]. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Muzium Negara, Kuala Lumpur, Malaysia.

Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474.

REOG PONOROGO

Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku jenis kesenian khas Ponorogo, Jawa Timur, Reog Ponorogo, terlintas kesan mistis di dalamnya.
Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan. Minuman keras dan juga kendalanya. Tak lepas pula kekuatan supra natural. Barung mempertontonkan keperkasaan dalam mengangkat dadak berat seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung.
Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, aneh, eksotis sekaligus membangkitkan gairah.
Asal Mula Reog
Sebuah buku terbitan Pemda Kabupaten Ponorogo pada tahun 1993 menyebutkan, sejarah lahirnya kesenian ini pada saat Raja Brawijaya ke-5 bertahta di Kerajaan Majapahit. Untuk menyindir sang raja yang amat dipengaruhi oleh permaisurinya ini, dibuatlah barongan yang ditunggangi burung merak oleh Ki Ageng Tutu Suryo. Lebih lanjut cerita rakyat yang bersumber dari Babad Jawa menyatakan pada zaman kekuasaan Batera Katong, penambing yang bernama Ki Ageng Mirah menilai kesenian barongan perlu dilestarikan. Ki Ageng Mirah lalu membuat cerita legendaris tentang terciptanya Kerajaan Bantar Angin dengan rajanya Kelono Suwandono. Kesenian Reog ini pertama bernama Singa Barong atau Singa Besar mulai ada pada sekitar tahun saka 900 dan berhubungan dengan kehidupan pengikut agama Hindu Siwa. Masuknya Raden Patah untuk mengembangkan agama Islam di sekitar Gunung Wilis termasuk Ponorogo, berpengaruh pada kesenian reog ini. Yang lalu beradaptasi dengan adanya Kelono Suwandono dan senjata Pecut Samagini.
Biasanya satu grup reog terdiri dari seorang warok tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong, dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30 orang, peran sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya.
Banyak hal yang terkesan mistis dibalik kesenian Reog Ponorogo. Warok misalnya, adalah tokoh sentral dalam kesenian ini yang hingga kini menyimpan banyak hal yang cukup kontroversial. Tidak sedikit orang yang menganggap profil warok telah menimbulkan citra kurang baik atas kesenian ini.
Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara yang baik dan jahat dalam cerita kesenian reog. Warok tua, adalah tokoh pengayom, sedangkan warok muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Kendati demikian, kehidupan warok sangat bertolak belakang dengan peran yang mereka mainkan di pentas.
Konon warok hingga saat ini dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok, seperti pendekatannya dengan minuman keras dan dunia preman.
Untuk menjadi warok, perjalanan yang cukup panjang, lama, penuh liku dan sejuta goda. Paling tidak itulah yang dituturkan tokoh Warok Ponorogo, Mbah Wo Kucing. Untuk menuju ke sana, harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.
Warok Tua, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya.
Begitu jauh persepsi buruk atas warok, diakui mulai dihilangkan. Upaya mengembalikan citra kesenian ini dilakukan secara perlahan-lahan. Profil warok saat ini misalnya mulai diarahkan kepada nilai kepemimpinan yang positif dan menjadi panutan masyarakat. Termasuk pula memelihara gemblak yang kini semakin luntur. Gemblak yang biasa berperan sebagai penari jatilan, kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dulu-dulunya kesenian ini tampil tanpa seorang wanita pun.
Selain warok, peran pembarong atau pemanggul darak merak, dalam kesenian Reog Ponorogo, tidak bisa disepelekan. Apalagi kesenian ini nyata mengandalkan kekuatan tubuh dan atraksi akrobatiknya.
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang

Sejarah Universitas Brawijaya


Nama Universitas Brawijaya (disingkat UB) diresmikan sebagai Universitas Negeri pada tahun 1963. Saat ini UB merupakan salah satu universitas negeri yang terkemuka di Indonesia yang mempunyai jumlah mahasiswa lebih dari 30 ribu orang dari berbagai strata mulai program Diploma, Program Sarjana, Program Magister dan Program Doktor selain Program Spesialis tersebar dalam 10 Fakultas.
Kampus UB berada di kota Malang Jawa Timur, dengan lokasi yang mudah terjangkau oleh kendaraan umum. Kampusnya sangat asri karena banyaknya pepohonan dan ditunjang oleh hawa sejuk kota Malang. Sejarah membuktikan keberadaan Kota Malang sebagai kota pendidikan tempat UB tumbuh dan berkembang pesat. Ini tidak terjadi dengan sendirinya tapi seakan merupakan proses sejarah yang tidak terpisahkan dari kejayaan Jawa Timur di masa lampau.
Nama Universitas Brawijaya diberikan oleh Presiden Republik Indonesia melalui kawat nomor 258/K/61 tanggal 11 Juli 1961. Nama ini berasal dari gelar Raja-Raja Majapahit yang merupakan kerajaan besar di Indonesia pada abad 12 sampai 15. Universitas Brawijaya dinegerikan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 196 tahun 1963 dan berlaku sejak 5 Januari 1963. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahir (Dies Natalis) Universitas Brawijaya. Perjalanan Universitas Brawijaya sebelum dinegerikan diawali pada tahun 1957 di Malang berdiri cabang Universitas Sawerigading Makassar yang hanya terdiri dari dua fakultas yaitu Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1960 diganti namanya menjadi Universitas Kotapraja Malang. Dibawah naungan Universitas tersebut beberapa bulan berikutnya terdapat tambahan dua fakultas yaitu Fakultas Administrasi Niaga (FAN) dan Fakultas Pertanian (FP). Universitas Kotapraja Malang inilah yang kemudian diganti namanya menjadi Universitas Brawijaya.
Pada saat dinegerikan, Universitas Brawijaya hanya mempunyai 5 fakultas yaitu Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ketatanegraan dan Ketataniagaan (FKK merupakan perluasan dari FAN dan saat ini namanya adalah Fakultas Ilmu Administrasi - FIA), Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP). FKHP kemudian dipecah menjadi dua fakultas pada tahun 1973, yaitu Fakultas Peternakan (FPt) yang berada di Universitas Brawijaya dan Fakultas Kedokteran Hewan yang berada dibawah naungan Universitas Airlangga. Fakultas Teknik (FT) berdiri tahun 1963 berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP nomor 167 tahun 1963 tertanggal 23 Oktober 1963.
Berdasarkan SK Presiden Nomor 59 tahun 1982 tanggal 7 September 1982 tentang struktur organisasi Universitas Brawijaya, Fakultas Perikanan (FPi) menjadi fakultas tersendiri karena sejak

Sejarah Candi Borobudur

Borobudur dibangun sekitar tahun 800 Masehi atau abad ke-9. Candi Borobudur dibangun oleh para penganut agama Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra. Candi ini dibangun pada masa kejayaan dinasti Syailendra. Pendiri Candi Borobudur yaitu Raja Samaratungga yang berasal dari wangsa atau dinasti Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar tahun 824 M dan selesai sekitar menjelang tahun 900-an Masehi pada masa pemerintahan Ratu Pramudawardhani yang adalah putri dari Samaratungga. Sedangkan arsitek yang berjasa membangun candi ini menurut kisah turun-temurun bernama Gunadharma.

 
Kata Borobudur sendiri berdasarkan bukti tertulis pertama yang ditulis oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, yang memberi nama candi ini. Tidak ada bukti tertulis yang lebih tua yang memberi nama Borobudur pada candi ini. Satu-satunya dokumen tertua yang menunjukkan keberadaan candi ini adalah kitab Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Di kitab tersebut ditulis bahwa candi ini digunakan sebagai tempat meditasi penganut Buddha.
Arti nama Borobudur yaitu "biara di perbukitan", yang berasal dari kata "bara" (candi atau biara) dan

PESONA JAWA BARAT

Secara umum kondisi alam Provinsi Jawa Barat terdiri atas dua bagian yaitu kawasan pantai yang terletak di bagian utara yang merupakan dataran  endah dengan iklim pantai yang panas dan kawasan pegunungan yang  meliputi sebagaian besar bagian tengah dan selatan yang berudara sejuk serta  memiliki  kawasan pertanian yang subur. Pada kawasan pegunungan itu erdapat beberapa gunung vulkanis yang sebagian diantaranya terletak di sekitar Bandung, ibukota Provinsi Jawa Barat. Masyarakat Jawa Barat dikenal sebagai orang Sunda dan sebagian dari mereka bekerja sebagai petani yang tinggal di daerah pertanian yang berada di lembah lembah pegunungan yang subur menghijau. Jawa Barat memiliki tradisi dan budaya Sunda yang menarik, daerah ini memiliki banyak peninggalan sejarah. Namun selain kebudayaan dan  peninggalan sejarah, Jawa Barat juga memiliki obyek wisata alam yang indah yang terdapat di kawasan pegunungan dan pantainya.

BOGOR

Pada masa kolonial Belanda, Bogor yang terletak 60 Km di selatan Jakarta adalah salah satu daerah peristirahatan penting bagi para pejabat Belanda. Gubernur.Jenderal Van Imhoff membuka kawasan perkebunan bernama Buitenzorg di Bogorpada tahun 1745 dan kemudian Bogor berkembang menjadi daerah peristirahatan yang disukai banyak pejabat Belanda.
Bogor yang terletak pada ketinggian 290 meter dari permukaan laut memang memiliki udara yang sedikit lebih teduh dari Jakarta, selain itu pada musim hujan
Bogor merupakan salah satu kota yang paling basah di Indonesia dengan tingkat curah hujan tertinggi di Jawa yang membuat kota ini dijuluki sebagai ‘kota hujan’.

Kebun Raya Bogor

Tidak ada tempat yang paling terkenal dan paling menarik di Bogor selain Kebun Raya Bogor. Kebun yang sangat luas ini terletak di tengah kota Bogor yang berada di atas lahan seluas 87 hektar. Pada akhir pekan atau hari libur kawasan kebun raya selalu ramai didatangi pengunjung dari berbagai daerah. Pengunjung yang memasuki Kebun Raya akan merasakan kontras antara suasana hiruk pikuk kota Bogor dengan ketenangan kebun ditengah kehijauan pepohonan rindang yang memberikan keteduhan.
Gubernur Jenderal Raffles disebut-sebut orang yang pertama kali menggagas pembukaan kebun raya, namun seorang ahli botani dari Jerman Professor C.G.C Reinwardt adalah orang yang pertama kali mengubah halaman luas Istana Bogor menjadi kebun yang digunakan untuk meneliti tumbuh-tumbuhan yang kemudian menjadi Kebun Raya Bogor dan dibuka resmi untuk umum pada 18 Mei1817.
Kebun Raya memiliki koleksi lebih dari 15.000 spesies pohon dan tanamtanaman termasuk 400 macam pohon palem. Kebun ini juga dihiasi dengan kolam air dengan tanaman teratai dan sungai kecil. Rumah anggrek yang terdapat di kebun raya ini memiliki koleksi lebih dari 300 varietas tanaman anggrek.

Istana Bogor

Istana yang terletak di sebelah timur laut kebun raya dulu merupakan tempat tinggal resmi dari gubernur jenderal Belanda yang berkuasa dari tahun 1870 hingga 1942. Istana ini dulunya merupakan rumah peristirahatan yang dibangun pada tahun 1745 ketika Belanda pertama kali membuka daerah perkebunan disini, namun rumah itu hancur karena gempa bumi dan sebuah istana baru didirikan di tempat ini beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun 1856. Para petinggi dan anggota masyarakat elit Belanda sering berkunjung ke kebun raya. Pesta-pesta besar dan glamor sering diadakan di Istana Bogor. Halaman istana yang luas dijadikan tempat memelihara rusa yang akan segera dipotong dan menjadi hidangan eksklusif pada perjamuan yang diadakan di istana. Hingga saat ini tradisi memilihara rusa di halaman istana tetap dipertahankan.
Pada tahun 1950, status Istana Bogor berubah menjadi istana Kepresidenan RI, Istana

Raja-raja Pajajaran

1. Sri Baduga Maharaja
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (RatuJayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 – 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar PRABU GURU DEWAPRANATA. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Susuktunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar SRI BADUGA MAHARAJA RATU HAJI di PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU DEWATA. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama PRABU SILIWANGI. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira” (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan RATU JAPURA (AMUK MURUGUL) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. {Tentang hal ini, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): “Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”}
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta (penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara) menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di bubat, sedangkan penggantinya (“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, menurut naskah Wastu kancana disebut juga PRABU WANGSISUTAH). Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?. Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar MAHARAJA (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama KAI RAGA di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam gaya pantun dan dinamai CARITA RATU PAKUAN (diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18).
Naskah itu dapat ditemukan pada Kropak 410 . Isinya adalah sebagai berikut (hanya terjemahannya saja):

Tersebutlah Ngabetkasih
bersama madu-madunya
bergerak payung lebesaran melintas tugu
yang seia dan sekata
hendak pulang ke Pakuan
kembali dari keraton di timur
halaman cahaya putih induk permata
cahaya datar namanya
keraton berseri emas permata
rumah berukir lukisan alun
di Sanghiyang Pandan-larang
keraton penenang hidup.

Bergerak barisan depan disusul yang kemudian
teduh dalam ikatan dijunjung
bakul kue dengan tutup yang diukir
kotak jati bersudut bulatan emas
tempat sirih nampan perak
bertiang gading ukiran telapak gajah
hendak dibawa ke Pakuan

Bergerak tandu kencana
beratap cemara gading
bertiang emas
bernama lingkaran langit
berpuncak permata indah
ditatahkan pada watang yang bercungap

Singa-singaan di sebelah kiri-kanan
payung hijau bertiang gading
berpuncak getas yang bertiang
berpuncak emas
dan payung saberilen
berumbai potongan benang
tapok terongnya emas berlekuk
berayun panjang langkahnya
terkedip sambil menoleh
ibarat semut, rukun dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut beralih
Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang
berlenggang di awang-awang
pembawa gendi di belakang
pembawa kandaga di depan
dan ayam-ayaman emas kiri-kanan
kidang-kidangan emas di tengah
siapa diusun di singa barong

Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi

Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri BAduga yang pertama (puteri Ki Gedng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain.
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan

SEJARAH HUKUM ADAT

Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. 
 Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht” menurut Van Vaollenhoven terdiri dari :
2. Bukti Adanya Hukum Adat Indonesia
Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada hukum adat, adalah sebagai berikut :
1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada.
3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
4. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.

Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut :
1. Di Tapanuli
Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan social di tanah Batak), PatikDohot Uhumni Halak  Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan Batak).
2. Di Jambi
Undang-Undang Jambi
3. Di Palembang
Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang tanah di dataran tinggi daerah Palembang).
4. Di Minangkabau
Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum adat delik di Minangkabau)
5. Di Sulawesi Selatan
Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang-orang wajo)
6. Di Bali
Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa (peraturan desa) yang ditulis didalam daun lontar.
Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan politik opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus Negara-negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang memimpin daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum Belanda di Negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De Carventer yang sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup. Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu :
1.         Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).

2.         Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM” (pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan Goa.
3.         COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan.
4.         HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON. Pencatatan hukum adat oleh orang luar negeri diantaranya :
1)         Robert Padtbrugge (1679), ia seorang gubernur Ternate yang mengeluarkan peraturan tentang adat istiadat Minahasa.
2)         Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu ensiklopedia tentang kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat. Peridesasi hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam :
3)         Jaman Daendels (1808-1811) Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya.
4)         Jaman Raffles (1811-1816) Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi MACKENZIE atau suatu panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini yaitu pada tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu regulation for the more effectual Administration of justice in the provincial court of Java yang isinya :
a.         Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
b.         Susunan pengadilan terdiri dari :
1)         Residen’s court
2)         Bupati’s court
3)         Division court
c.         Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling
d.         Yang berlaku adalah native law dan unchain costum untuk Bupati’s court dan untuk Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.

5)         Zaman Komisi Jenderal (1816-1819) Pada zaman ini tidak ada perubahan dalam perkembangan hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah ada.
6)         Zaman Van der Capellen (1824) Pada zaman ini tidak ada perhatian hukum adat bahkan merusak tatanan yang sudah ada.
7)         Zaman Du Bush Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum adat, yang utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli.
8)         Zaman Van den Bosch Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan Islam.
9)         Zaman Chr. Baud. Pada zaman ini sudah banyak perhatian pada hukum adat misalnya tentang melindungi hak-hak ulayat.
Pada tahun 1918 putera-putera Indonesia membuat disertasi mengeani hukum
adat di Balai Perguruan Tinggi di Belanda, antara lain :
            1.         Kusumaatmadja tahun 1922 yang menulis tentang wakaf
2.         Soebroto tahun 1925 yang menulis tentang sawah vervavding (gadai sawah)
3.         Endabumi tahun 1925 yang menulis tentang Bataks grondenrecht (hukum tanah suku Batak).
4.         Soepomo tahun 1927 yang menulsi tentang Vorstenlands grondenrecht (hak tanah di kerajaan-kerajaan). Adapun penyelidikan tentang hukum adat di Indonesia dilakukan oleh :
a.         Djojdioeno/ Tirtawinata yang menulis tentang Hukum Adat privat Jawa Tengah.
b.         Soepomo yang menulis tentang Hukum Adat Jawa Barat
c.         Hazairin yang membuat disertasinya tentang “Redjang”
3.   Sejarah Politik Hukum Adat
Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan

Kekuasaan dan Bahasa: Bahasa Jawa, Seni-Sastra Wayang dan Kekuasaan.

Bahasa Jawa seperti sekarang ini adalah hasil sebuah proses panjang perjalanan masyarakat Jawa. Dalam perjalanannya, perkembangan bahasa Jawa tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seni-sastra wayang, karena itu dari seni-sastra wayanglah bahasa Jawa bisa ditelisik perkembangannya.  Lebih jauh lagi, bahasa Jawa dan seni-sastra wayang adalah hasil proses perjalanan kekuasaan Jawa, dari jaman pra-kolonial, kolonial, hingga pasca-kolonial. Dalam relasi-relasi tersebutlah pembahasan bahasa Jawa dalam bagian ini bertumpu. Pertama, dibahas relasi antara perkembangan bahasa Jawa dalam konteks perkembangan seni-sastra wayang. Kemudian,    dibahas relasi antara bahasa dan kekuasaan Jawa yang akhirnya membentuk “cara befikir” masyarakat Jawa. Makalah ini menunjukkan bahwa perkembangan bahasa Jawa berkelindan dengan perkembangan seni-sastra wayang dan kekuasaan Jawa. Makalah ini juga menunjukkan bahwa bahasa Jawa, sebagai produk budaya Jawa, berakar dalam sejarah kekuasaan Jawa yang tidak terlepas dari dinamika relasi-relasi kekuasaan.


Bahasa memiliki beberapa fungsi[1]. Dua di antaranya, yaitu “fungsi refensial dan afektif . . . [yang] sangat erat kaitannya dengan kekuasaan” (Thomas & Wareing, 2007: 14).   Fungsi referensial berhubungan dengan “bagaimana kita merepresentasikan/menggambarkan dunia di sekitar kita dan dampak dari representasi itu terhadap cara kita berfikir” (ibid, 14). Sedangkan “fungsi afektif dari bahasa terkait dengan siapa ‘boleh/berhak’ mengatakan apa, di mana ini erat kaitannya dengan kekuasaan dan status sosial” (ibid, 14).   Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana bahasa Jawa dalam wayang kulit Jawa Timuran merepresentasikan relasi-relasi kekuasaan dan status sosial pada masyarakat Jawa pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya. Karena perkembangan bahasa Jawa erat kaitannya dengan perkembangan kepemimpinan/kekuasaan Jawa dan wayang kulit makalah ini mencermati bagaimana bahasa Jawa mendapatkan bentuknya yang sekarang ini dalam relasinya dengan perkembangan wayang kulit dan kekuasaan Jawa.
1.        Bahasa dalam Seni-sastra Wayang dan Kekuasaan Jawa.
            Membahas perkembangan bahasa dalam seni-sastra wayang berarti mengungkapkan bagaimana wayang di(re)produksi dari waktu ke waktu, bagaimana ia berfungsi dalam masyarakatnya, dan bagaimana ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari “teknologi kekuasaan” (Foucault, 1977: 29) yang berkembang dari jaman ke jaman.  Sudah begitu banyak peneliti yang membahas seni dan sastra wayang dalam konteks sejarah, sebut saja nama-nama Kats, Hazeu, Brandon, Mulyono, Sears, Haryanto, dll. Banyak pula yang membahas hal-hal lain tentang wayang tetapi juga mencantumkan sejarah wayang sebagai pendahuluan, seperti Soenarto Timoer, Hazim Amir, Umar Kayam, Soetarno, dll. Pembahasan seni dan sastra wayang dalam penelitian ini dilakukan dengan arah yang berbeda, yaitu dengan melihatnya sebagai produk budaya yang dimaknai dan memberi makna kepada masyarakat Jawa berdasarkan bentuk dan relasi kekuasaan dalam sejarah kekuasaan Jawa. Dengan kata lain, wayang kulit sebagai produk budaya tidak dilihat secara ‘generik’, yaitu budaya dipahami sebagai “warisan yang secara turun temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif”, tetapi dilihat secara ‘diferensial’, yang dipahami sebagai sesuatu “yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial . . . yang keberadaannya tergantung kepada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu” (Abdullah, 2006: 9-10).  Membaca seni dan sastra wayang dalam konteks sejarah kekuasaan Jawa memberikan gambaran  bagaimana seni dan sastra wayang berkait erat dengan kekuasaan Jawa.
Seni dan sastra wayang tumbuh sebagai produk budaya dalam pusat-pusat kebudayaan Jawa, keraton/istana, sehingga bisa dikatakan bahwa wayang kulit berawal dari budaya keraton (court culture). Timbulnya wayang di Jawa “mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perkembangan sejarah [kekuasaan di Jawa] sejak masa sebelum bangsa Hindu datang di Indonesia sampai Indonesia merdeka saat ini (Haryanto, 1988: 24). Maka dari itu sejarah wayang  sebagai bagian dari sejarah Jawa tidak lepas dari sejarah kekuasaan Jawa.   Sejarah Jawa tidak lepas dari konflik kekuasaan yang penuh dengan pergolakan, sehingga setiap rezim umurnya tidak terlalu lama. Rezim yang paling lama adalah Kerajaan Majapahit, di mana Hayam Wuruk saja berkuasa selama lebih kurang 39 tahun (1350-1389). Setelah itu, kerajaan-kerajaan Islam dari Demak hingga Mataram penuh dengan peperangan dan perebutan kekuasaan, apa lagi dengan hadirnya VOC saat itu. Dari perebutan kekuasaan tersebut, pusat-pusat kerajaan bergeser sesuai dengan tempat kerajaan baru didirikan. Misalnya,  kerajaan Mataram Kuno/Hindu berpusat di Jawa Tengah, Singasari dan Majapahit berpusat di Jawa Timur, dan Mataram Islam berpusat di Jawa Tengah kembali. Yang perlu dicatat dari sejarah kekuasaan Jawa adalah bahwa setiap ada pusat kerajaan baru, bukan berarti kerajaan lama harus musnah. Memang banyak kasus yang menunjukkan bahwa kerajaan lama bisa dibumi-hanguskan, seperti kasus kerajaan Majapahit, tetapi seringkali raja yang kalah hanya ‘turun pangkat’ menjadi bupati atau adipati, yang berfungsi sebagai ‘raja kecil’ di kerajaan yang dahulu ia duduki, sehingga yang berubah hanyalah pusat dan orientasi kekuasaannya saja. Misalnya, ketika kerajaan Kediri dikalahkan kerajaan Singasari, Kediri menjadi semacam kadipaten saja. Ketika adipati Kediri memberontak, menyerang dan mengalahkan Singasari, Singasari, sebaliknya, menjadi daerah bawahan Kediri lagi.  
Wayang, yang merupakan hiburan sekaligus alat ritual masyarakat  Jawa yang bersumber dari dalam istana, tentu saja berubah sesuai dengan perubahan kekuasaan yang ada. Perubahan itu bisa dari isi, bentuk wayang, struktur pertunjukan, cerita, atau penambahan karakter wayang. Memang perdebatan asal usul wayang sendiri (seni wayangnya, bukan sastranya) sering dibawa ke jaman pra-sejarah. Pembahasan ini biasanya ditujukan pada asal-usul seni wayang, apakah dari India, Cina, atau Jawa dengan mengutip pendapat dari peneliti-peneliti sebelumnya seperti Hazeu, Kats, atau Kusumodilogo (lihat Mulyono, 1982; Sutrisno, 1984; Haryanto, 1988; Amir, 1994, dll). Lebih jauh, Brandon (1989) mengatakan, “Tanpa mempertimbangkan apakah penemuan teater bayang-bayang dari  Cina, India, atau Jawa, Wayang Kulit telah berkembang ke arah kematangan menjadi fenomena Jawa yang asli tak ada bandingnya baik di India mau pun Cina (92).  Arah kematangan itu tidak lepas dari sejarah kekuasaan di Jawa.
Menurut narasi sejarah pada umumnya, wayang purwa dimulai ketika kerajaan Mataram Kuno ini diperintah oleh Prabu Dyah Balitung (898-910 M), yang memerintahkan penerjemahan Ramayana dari bahasa Sansekerta dari India ke bahasa Jawa Kuno atau Kawi, yang menyebut kata ‘mawayang’ (Sena Wangi, 1983; Timoer, 1988; Haryanto, 1988) yang dianggap asal kata wayang. Menurut Amir (1994), pada saat itu “pertunjukan wayang sudah ada pada tahun 907 seperti dibuktikan oleh prasasti Balitung, ‘ . . . si Geligi buat Hyang macarita  Bhima ya kumara . . . ‘ [Geligi mengadakan pertunjukan wayang dengan cerita Bhima muda]” (34). Jaman ini bisa dianggap sebagai awal perkembangan seni dan sastra.  Jika benar bahwa seni wayang asli Jawa dan baru pada jaman Mataram Kuno ini dimasuki cerita (sastra) Ramayana dan Mahabarata, maka raja-raja Hindu telah memanfaatkan seni wayang dari jaman pra-sejarah untuk kepentingan ritual agama mereka. Seni wayang lokal dikawinkan dengan sastra wayang dari India, yang merupakan sastra yang berhubungan dengan agama Hindu.
Satu golongan elit kependetaan yang baru, mungkin pada permulaan sebagian besar orang India, yang tentunya telah aktif di sekitar pemimpin-pimimpin yang kuat yang mereka Hindukan, dan kemudian mentasbihkannya sebagai raja yang ilahi. Raja-raja ini diandaikan sebagai inkarnasi temporer di atas bumi dari dari beberapa dewa Hindu dan Buddha, dan praktek ini menaikkan pemujaan kepada raja sebagai kesinambungan langsung dari leluhur asli, termasuk pemujaan kepada pemimpim-pemimpin yang telah meninggal. (Holt, 2000: 33)  
Ritual wayang yang animistik dijadikan Hinduistik, dan karakter-karakternya disesuaikan dengan karakter-karakter Hindu dalam Ramayana dan Mahabarata dan karakter-karakter ini dihubungakan dengan raja-raja yang sedang berkuasa. Maka terjadi relasi yang saling membangun antara penguasa politik (raja), penguasa agama (para pendeta Hindu), para seniman kerajaan (dalang), dan masyarakat yang mendapatkan layanan ritual keagamaannya. Pihak kerajaan mendapatkan legitimasi sebagai penguasa keturunan dewa, para pendeta bisa mengembangkan ajarannya, para pujangga dan dalang mendapatkan tempat untuk berekspresi sekaligus menikmati posisi sosial tertentu, dan masyarakat mendapatkan layanan ritualnya.          
Pada tahun 928-1222 Masehi, pusat kerajaan Jawa[2] pindah ke timur, disekitar Gunung penanggungan[3] (lihat Muljana, 2006) dengan kerajaan bernama Panjalu. Tidak jelas mengapa pusat kekuasaan bergesar ke timur. Menurut Onghokham, “berpindahnya kekuasaan politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh larinya penduduk dari Jawa Tengah yang terlalu berat menderita tekanan dari peradaban monarki itu” (1983:173). Jika ini benar, kemungkinan perlahan-lahan terjadi bentuk monarki yang baru di Jawa Timur yang semakin kuat dan Mataram surut menjadi kerajaan kecil. Menurut Kartodirdjo dkk., raja Sanjaya adalah ayah Syailendra, dan setelah bertemu dengan pendeta Bhudda yang datang dari daratan Cina, ia memerintahkan anaknya untuk memeluk Bhudda. Akhirnya, keturunan Sanjaya yang masih memeluk Hindu pergi ke timur. Namun demikian, masih dipercaya bahwa di Jawa Tengah dua dinasti masih berdampingan,  yaitu dinasti Sanjaya yang Hindu dan Syailendra yang Bhudda (1975:77-79). Jika ini benar, dari keturunan Sanjaya yang pergi ke timur itulah muncul penguasa baru di Panjalu/Kediri.  Kerajaan ini membesar sedangkan dua kerajaan Mataram di Jawa Tengah menjadi surut.
Pada jaman Prabu Darmawangsa (991-1016 M) di timur ini, Mahabarata diterjemahkan/diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Kuno, dari 18 parwa digubah menjadi 9 parwa (Sena Wangi, 1983), atau disadur hanya 9 parwa dari 18 parwa (Haryanto, 1988). Selanjutnya, “pada kira-kira tahun 1017 istana Dharmawangsa dibakar dan raja Dharmawangsa terbunuh. Tetapi menantunya yang bernama Airlangga bisa menyelamatkan diri . . . dan pada tahun 1019 berhasil merebut tahta” (Mulyono, 1982:68). Setelah merebut tahta, Airlangga memindahkan kerajaan ke daerah Kediri.  Seni dan sastra wayang mulai membumi di tanah Jawa pada jaman Airlangga ini (1019 – 1042 M), saat berkembangnya kesusastraan Jawa, dengan adanya kitab Arjunawiwaha yang ditulis oleh Mpu Kanwa (1030) (Sena Wangi, 1983).  Selanjutnya, dalam catatan Slamet Muljana (2006), pada akhir pemerintahan Airlangga ini kerajaan dibagi menjadi dua untuk kedua anaknya. Kedua kerajaan itu dibatasi oleh sungai Brantas, sebelah barat bernama Panjalu (Kediri) untuk yang muda dan sebelah timur bernama Jenggala (sekitar Sidoarjo) utuk anak yang lebih tua. Kedua anak Airlangga ini saling bermusuhan, sehingga sering terjadi peperangan. Permusuhan di antara keturunan Airlangga ini berakhir dengan peperangan pada jaman Prabu Jayabaya (1135-1157) dengan kemenangan di pihak Panjalu atau Kediri.    
Pada jaman prabu Jayabaya, yang namanya berhubungan erat dengan kesusastraan Jawa, ada pujangga Mpu Sedah yang menulis Bharatayudha yang diselesaikan oleh Mpu Panuluh, yang juga menulis Gathutkacasraya. Muljana (2006) bahkan mencatat bahwa Bharatayudha sengaja digubah atas perintah Prabu Jayabaya setelah kemenanganya atas  kerajaan Jenggala yang lebih tua. Karena dalam keyakinannya membunuh orang yang lebih tua itu dosa, maka perlu ada ruwatan dengan digubahnya Bharatayuda (40-51). Maka kisah Mahabharata pada jaman tersebut tidak terlepas dari dimensi lokalnya, yaitu perebutah kekuasaan antara dua anak Airlangga. Di bidang seni wayang, di jaman Kediri inilah terjadi “peralihan bentuk tiga dimensi di atas candi ke bentuk dua dimensi (wayang) dari kesenian Jawa Timur” (Onghokham, 1983:174). “Terkesan oleh ukir-ukiran (relief) yang terdapat pada candi Penataran di Blitar, Jawa Timur, maka pada tahun 939 Prabu Jayabaya membuat gambar-gambar dari cerita wayang pada daun Tal (lontar) . . . dan saat itulah timbul Wayang Purwa untuk pertama kali” (Haryanto, 1988:188)[4].  Di jaman ini, bentuk wayang sudah mendekati bentuk masa kini, barangkali mirip wayang Bali. “Tetapi wayang-wayang dahulu masih belum bisa dimainkan, karena tangan-tangannya masih melekat menjadi satu dengan badan” (189). Di jaman ini wayang juga sudah mulai ditatah di kulit sapi (189), dan ceritanya tentu saja berisi ceritera Mahabarata dan Ramayana yang sudah disesuaikan dengan situasi penguasa Kediri.
Seni dan sastra wayang berkembang lebih jauh pada jaman Majapahit. Menurut surat Centhini, di jaman ini wayang digambar di atas kertas Jawa, yang dilakukan oleh seorang putra raja[5] yang pandai menggambar, bernama Raden Sungging Prabangkara, di tahun 1380an Masehi (Senawangi, 1983). “Bentuk-bentuk wayang mengalami penyempurnaannya dengan diberi warna, digambar di atas kertas atau kain” (Haryanto, 1988:199). Wayang ini disebut wayang beber. “Pementasan wayang beber tersebut diiringan gamelan slendro dan pada jaman itu pulalah kembali ada penulisan cerita-cerita wayang” (199). Isi ceritanya, tentu saja, adalah karya sastra berdasarkan  Mahabarata dan Ramayana. Cerita-cerita tersebut antara lain, Arjunawijaya Kakawin, Sudamala, Dewa Ruci Kakawin, dll. (199-200).
Yang menarik dari perkembangan seni dan sastra wayang  di jaman Majapahit ini adalah timbulnya karakter ‘lokal’ yang betul-betul mempunyai peran. Di jaman Kediri, memang sudah mulai muncul Panakawan, yang tidak terdapat dalam Mahabharata versi India.  Dalam Gathotkacasraya, empu Panuluh sudah memperkenalkan panakawan bernama Juru Deh, Punta dan Prasanta. Tetapi perananya belumlah menonjol. Pada jaman Majapahit inilah timbul Semar “sebagai panakawan yang lebih berkesan dari peranan panakawan Juru Deh, Punta dan Prasanta. Di situ, telah jelas peranan Semar sebagai panakawan dan pelawak” (Muljana, 2006:276-277). Inilah yang disebut Muljana sebagai ke-khas-an orang Jawa Timur (Kediri-Majapahit). Mahabharata telah mengalami Jawanisasi, dan sepertinya ini menunjukkan bahwa sejak dahulu penguasa Jawa menyadari bahwa kehadiran mereka lebih berarti jika ada kawula. Pada sisi lain ini juga merupakan bentuk untuk mendapatkan legitimasi dari para kawula, sehingga para kawula, yang tidak merasa diri sebagai priyayi, merasa memiliki representasi dalam wayang. Jika di jaman-jaman sebelumnya mereka menikmati wayang dengan tokoh-tokoh yang berhubungan dengan ritual keagamaan mereka saja, kini mereka mulai mendapatkan representasi dalam dunia wayang sehingga wayang semakin menjadi bagian dari diri mereka.
Mendekati keruntuhannya (1478), Majapahit tercabik-cabik oleh perang saudara memperebutkan tahta dan menjadi lemah sehingga tidak lagi bisa mengontrol daerah-daerah kekuasaannya (lihat Kartodirdjo dkk., 1975: 274-277).  Pada masa itu “banyak bupati yang sudah memeluk agama Islam memisahkan diri dari Kekuasaan Majapahit untuk kemudian mendirikan negara sendiri” (Haryanto, 1988:201). Sebagian dari bupati-bupati itu juga anak keturunan raja-raja Majapahit, seperti yang dikatakan Haryanto bahwa “di antara negara pesisir yang menjadi kuat dan besar adalah Demak, di bawah pemerintahan Raden Patah, putra Kertabumi (Brawijaya V) raja Majapahit” (201) dari seorang selir wanita Cina[6]. Raden Patah yang memeluk agama baru, Islam, mengalahkan Majapahit dan “semua perlengkapan upacara kerajaan dipindahkan ke Demak, termasuk wayang dan segala perlengkapannya” (201). Keruntuhan Majapahit, maka dari itu, disebabkan oleh dua hal: “masalah intern, yaitu masalah persengketaan di antara keluarga raja, memperebutkan kekuasaan atas tahta raja” (Kartodirdjo, 1975:276), dan hadirnya kebudayaan baru, Islam (Kartodirdjo, ibid; Mulyono, 1982:77).    
Dalam catatan Anderson (1990), setelah keruntuhan Majapahit inilah datang “semacam Abad Kegelapan Jawa yang pekat, tersobek-sobek oleh rangkaian peperangan, pembuangan, perampokan, pembantaian dan kelaparan tiada jeda” (429-430).  Keruntuhan Majapahit dan perubahan ke kebudayaan baru Demak (1500 M) hingga Mataram (sebelum 1750 M) ini membawa konsekwensi terhadap seni dan sastra wayang.  Menurut Moedjanto (1987), salah satu dari penyebab hilangnya seni-sastra Jawa pada masa tersebut adalah perubahan dinasti dari elit penguasa Majapahit ke elit penguasa baru Mataram yang “berasal dari kalangan petani” (45). Pada masa inilah budaya Jawa mengalami ‘keterputusan tradisi” atau “amnesia kultural” (Anderson, 1990: 432). “Budaya Jawa kehilangan suatu budaya dan sastra pejabat-priayi tinggi keraton sebagaimana yang tetap dimiliki oleh bangsa-bangsa seperti Vietnam, Cina, dan Jepang sampai jaman modern” (432).
Pada masa “amnesia kultural” tersebut, seni dan sastra wayang  berkembang bersamaan dengan perkembangan bahasa Jawa yang baru. Moedjanto (1987) membuktikan bahwa pada jaman Majapahit, tataran Ngoko-Krama belum ada (46-55).  Maka, ketika dengan pengaruh para wali, wayang diubah bentuknya dari menyerupai relief candi atau manusia ke bentuk miring dan terstilisasi seperti sekarang ini agar tidak bertentangan dengan Islam, pada saat yang sama bahasa Jawa mengalami proses Ngoko-Krama hingga sekarang ini.[7]  Dari segi seni pertunjukan, berkembang wayang kulit purwa dengan karakter dibuat terpisah dan wayang beber ditinggalkan. Wayang mulai dibuat dari kulit, dan wayang beber yang diambil dari Majapahit dibuat dalam bentuk masing-masing karakter. Dalam pembuatan wayang kulit ini Raden Patah (Sultan Syah Alam Akbar I) didukung oleh para wali. Di jaman inilah pertama kali wayang, yang sekarang disebut sebagai wayang kulit atau wayang purwa, menjadi pertunjukan semalam suntuk. Suluk dan “balungan lakon” (intisari cerita) juga dibuat, yang semuanya itu dilakukan oleh para wali[8] (Mulyono, 1982; Senawangi, 1983; Timoer, 1988; Haryanto, 1988).
Pada jaman Mataram, seni-sastra dan bahasa Jawa berkembang saling mempengaruhi. Di antara masa-masa peperangan, nampaknya kesenian wayang kulit tetap menjadi hiburan bagi raja-raja Mataram. Sebelum kerajaan-kerajaan Jawa betul-betul jatuh ketangan VOC, Hamangkurat I sempat menciptakan beberapa wanda wayang kulit. Hamangkurat II menyempurnakan wayang Mataram dan bahkan membuat Wayang Beber Gedog. Pakubuwono I terus menyempurnakan bentuk wayang dan memprakarsai penulisan Kitab Kanda yang sekarang menjadi pakem Yogyakarta (Haryanto, 1988:205-208). Tentu saja wayang kulit bukan sekedar menjadi hiburan. Dengan adanya begitu banyak perang saudara, pertunjukan wayang kulit bisa memberikan semangat bahwa mereka berada di pihak yang benar, sehingga secara sadar atau tidak, ketika menggelar kisah Bharatayuda mereka akan mengidentifikasikan diri sebagai Pandawa yang sedang melawan Kurawa.
Di jaman kolonial, setelah berakhirnya Zaman Kegelapan Jawa (1750) seperti yang dikatakan Anderson,  perkembangan wayang kulit menjadi lebih pesat, bersamaan dengan perkembangan baru bahasa Jawa. Namun, “ketika budaya sastra Jawa mulai bangkit kembali . . . bahasa kraton yang kuno dan musykil itu telah lepas dari genggamannya” (1990: 432).  Mengenai perkembangan wayang kulit pada masa ini, Sri Mulyono (1982) mengatakan:
            Mengingat mereka kurang paham dan kurang menguasai tentang bahasa Kawi, maka salinan-salinan dari naskah-naskah kuna atau penulisan naskah-naskah baru hasilnya jauh menyimpang dari mitos/epos aslinya, sehingga timbullah naskah-naskah yang oleh Dr. Hazeu disebut “naskah yang kurang beres”.  Sehingga para dalang, seniman atau budayawan mempergelarkan apa yang mereka ketahui, mereka dengar atau mereka pelajari dari naskah-naskah yang kurang beres sehingga mudah dipahami mengapa terjadi perubahan-perubahan besar dalam cerita . . .   (188).
Dengan interpretasi sendiri, para pujangga kerajaan menggubah kembali sastra wayang dengan cerita dan bahasa Jawa yang sesuaikan dengan kebutuhan keraton pada saat itu.    Ini semakin membuat pengkratonan bahasa Jawa melalui wayang kulit menjadi semakin gencar, yang berujung pada stratifikasi bahasa Jawa yang semakin rumit. Pada awal masa tersebut, Pakubuwono III  membuat wayang sebanyak tiga kotak dan memprakarsai penulisan kitab Arjuna Wiwaha Jarwa (Haryanto,1988:208-209). Haryanto mengatakan bahwa pada pemerintahan Pakubuwono IV, “perkembangan wayang . . . di Surakarta sangat menggembirakan” (209). Ia terus menyempurnakan wayang dan memiliki dua pujangga, Kyai Yosodipuro I & II yang menuliskan kitab-kitab pewayangan (209). Perkembangan ini juga terjadi di Yogyakarta. Akhirnya