Historiografi atau penulisan sejarah dalam ilmu sejarah merupakan titik puncak seluruh kegiatan penelitian sejarah. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan bagian terakhir. Langkah terakhir, tetapi langkah terberat, karena di bidang ini letak tuntutan terberat bagi sejarah untuk membuktikan legitimasi dirinya sebagai suatu bentuk di siplin ilmiah[1].
Historiografi pragmatis, dimana orang ingin menarik pelajaran untuk kepentingan praktek. Obyektivitas menjadi sasaran utama. Motif – motif pembuatan di kaji seteliti – telitinya dan mencoba memberikan hubungan kasual pada peristiwa – peristiwa sejarah. Obyektivitas merupakan puncak usaha bila hendak membuat karya sebagai ktema es aei, harta segala zaman[2].
Historiografi tidak terlepas dari data – data yang mendukung guna penulisan sejarah. Historiografi merupakan usaha pendataan sumber – sumber yang telah tersedia terhadap kajian – kajian kritis yang ada. Metode – metode dan pendekatan – pendekatan yang di dapat atau telah terbukti di manfaatkan untuk mempelajari bahan – bahan dan terhadap masalah teoritis yang berkaitan dengan penulisan sejarah.
Historiografi Asia Tenggara ini merupakan kumpulan tulisan dari orang Eropa Barat, Asia, dan amerika yang masing – masing dengan latar belakang kebudayaan dan tradisi ilmunya sendiri. Yang terpenting dalam penulisan sejarah Asia Tenggara, bilamana sejarawan dapat melepaskan diri dari kungkungan sumber – sumber Eropa Barat.
Penelitian oleh sarjana – sarjana Asia yang semakin bertambah jumlahnya selama dua puluh tahun yang lalu, nampaknya akan membawa perubahan yang luar biasa atas pandangan N.J. Krom mengenai sejarah Jawa lama. Lalu mengenai inskripsi – inskripsi yang melimpah di Burma, Tiongkok, India atau Barat. Karya Krom yang monumental mengenai “ Hindoe-Javaanche Geschiedenis “ benar – benar berada dalam karya yang populer. Perubanah baru secara revolusioner yang terjadi di Asia Tenggara sejak perang dunia kedua tak dapat dihindarkan untuk mengadakan penelitian ulangt tentang konsepsi – konsepsi lama mengenai sejarahnya dan mencobakan suatu pandangan yang berorentasi ulang.
Berg mempelajari literatur sejarah Indonesia dengan meletakkan suatu metode pendekatan interpretasi, ia mampu akan memberikan hasil yang patut dipercaya. Ia menjelaskan bahwa kita perlu mengetahui sejarah tertulisnya rakyat sebagai unsur pola kebudayaan. Kesusastraan Rakyat Asia Tenggara tidak terlepas dari peristiwa - peristiwa sejarah atau berbentuk babad.
Selama abad 19 dan 20 terdapat tiga bidang historiografi Asia Tenggara. Pertama, sejarah kuno. Ini kurang dikenal penduduk asli, serta diungkapkan oleh para filolog, epigraf, dan arkeolog. Kedua, sejarah kolonial. Perdagangan, perang, perjanjian menjadi perhatian khusus bagi orang Eropa. Ketiga, periode tengan. Sekitar abad 4-10, sebelum abad 19. merupakan zaman penulisan sejarah penduduk asli. Konsep dasar sejarah ilmiah telah sampai di Asia Tenggara tentang pentingnya batasan waktu, tempat, pengetahuan masa lampau harus sekuler dan humanistis. Serta fakta dan interpretasi sejarah harus selalu di uji dengan metode ilmiah.
EPIGRAFI DAN HISTORIOGRAFI INDONESIA
Berg mengenai nilai - nilai sumber – sumber asli Indonesia, khususnya dari Jawa dalam historiografi Indonesia dengan mempelajari nilai kidung sebagai sumber sejarah. Selain itu Berg juga menggunakan sumber lain seperti sastra dan prasasti. Sumber sejarah seperti Nagarakertagama dan paparaton, kidung, babad, dan karya sastra lainnya seperti prasasti dianggap sebagai hasil budaya Indonesia. Sehingga dalam memakai sumber ini harus sesuai dengan jiwa Indonesia dan dipakai secara sintipikal.
Istilah prasasti merujuk pada sumber – sumber sejarah zaman kuno yang ditulis diatas batu atau logam. Prasasti dibuat kebanyakan dibuat atas perintah atas penguasa diberbagai wilayah di Indonesia sejak abad 5. prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta, Melayu Kuno, Bali Kuno, atau Arab. Kebayakan masih perlu dipelajari secara rinci, sebab meskipun sudah banyak dibaca, tetapi banyak juga yang sampai saat kini hanya
ditranskripsikan untuk sementara seperti koleksi prasasti dari Brandes yang memuat 125 prasasti. Tugas ahli epigrafi sekarang ini bukan hanya mempelajari prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga mengkaji kembali semua prasasti yang telah diterbitkan transkripsi sementara, lalu menterjemahkan prasasti itu kedalam bahasa modern agar sarjana lain, terutama sejarawan, dapat memanfaatkan keterangan yang terdapat didalamnya.[3]
ditranskripsikan untuk sementara seperti koleksi prasasti dari Brandes yang memuat 125 prasasti. Tugas ahli epigrafi sekarang ini bukan hanya mempelajari prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga mengkaji kembali semua prasasti yang telah diterbitkan transkripsi sementara, lalu menterjemahkan prasasti itu kedalam bahasa modern agar sarjana lain, terutama sejarawan, dapat memanfaatkan keterangan yang terdapat didalamnya.[3]
Gambaran Jawa mengenai masa lampau telah banyak menyerap mitos India dalam masa kontak kultural India-Jawa. Itilah sebab mengapa kita menemukan para dewa dan pahlawan India sebagai nenek moyang para raja dalam silsilah Jawa. Selain cerita tentang dewa dan pahlawan, orang Jawa juga mempelajari kronologi linier dan penulisan abjad dari India. Dalam babad Jawa, zaman yang tertua adalah zaman Shaka. Nama Sansekerta dari zaman tersebut cakakala, dalam bahasa Jawa kemudian menjadi sengkala yang kini berarti kronogram. Sengkala adalah kombinasi dari kata – kata yang tersamar artinya, yang mengingatkan pendengar atau pembaca pada suatu peristiwa yang penting pada waktu lampau, dan memungkinkannya untuk menghitung tahun Shaka dari peristiwa itu. Kronogram semacam itu dapat membantu oran Jawa menempatkan gambaran mengenai masa lampau yang teratur secara kronologis, meskipun tanpa bantuan abjad. Tampaknya orang Jawa sudah terbiasa dengan India tanpa mengembangkan kebutuhan untuk menempatkan fakta – fakta yang penting dari masa lampau pada urutannya yang benar secara kronologis. Suatu hipotisis yang masuk akal untuk menjelaskan fakta ini ialah bahwa apresiasi orang Jawa terhadap pengetahuan yang baru diperoleh tidak mendorong mereka untuk mengubah gambaran mereka mengenai masa lampau menjadi kronik atau catatan sejarah.[4]
Jika mengamati Babad Tanah Jawi dari sudut pandang yang lain, kita mungkin melihat bahwa pengarang meniru Prapanca yang menjadi Kertanegara maupun Raja Rajasanagara dari wangsa Shailendra sebagai prototipe, dalam peryataannya bahwa raja Mataram menjadi raja baru Majapahit sekaligus raja Majapahit pada zamannya. Struktur Babad Tanah Jawi didasarkan pada prinsip – prinsip yang dilukiskan dalam dua alenia terdahulu. Yang menjadi masalah apakah substitusi semacam itu dapat atau tidak dapat diterima dari sudut pandang seorang ahli bahasa modern, atau apakah tafsiran literatur Jawa yang lebih kuno oleh pengarang Babad Tanah Jawi benar atau tidak bila dilihat dari sudut pandang seorang filolog.
ASIA TENGGARA SELAMA BABAKAN PERMULAAN
EXPANSI EROPA
Pada abad petengahan orang Portugis menjadi pelaut pertama yang menyebrangi samudra Hindia. Vasco de Gama pemimpin pelayaran tersebut diikuti oleh Lisbon dan Oporto dengan bekal pengalaman serangkaian eksplorasi yang panjang dan dengan suatu dorongan nasionalisme yang menggelora mendesak mereka untuk menghancurkan islam. Motif ekonomi telah mulai bersaing dengan motif keagamaan. Cita – cita perdagangan dan kolonisasi mendapat tempat berpijak sehingga cita – cita perang salib Abad Pertengahan menjadi lemah.
Di Burma dan Arakan orang – orang bayaran dan petualang – petualang Portugis terbukti lebih banyak daripada missionaris dan saudagar Diego Soarez de Mello memainkan peranan penting dalam peperangan – peperangan Tabinshwehti dan Bayinnaung. Di Sia Portugis tidak pernah berusaha untuk mendapatkan kekuasaan pemilikan tanah, raja sangat kuat, jadi hanya di burma Portugis memiliki penguasaan tanah sampai abad XVI. Tetapi tahun 1599 ketika ketika Pegu telah direbut dan barang rampasan dibagi antara pangeran pemberontak dari Toungoo dan Raja arakan.[5]
Ketika saudagar – saudagar London berusaha mengembangkan jalan ke Timur melalui Syria, meskipun mereka berencana untuk mendirikan perdagangan yang menguntungkan dengan bagian timur wilayah Laut Tengah, teryata tidak berguna sebagai pintu gerbang ke India dan negeri – negeri sekitarnya. Penyelidikan perdagangan perorangan seperti John Newbery dan Ralph Fitch berhasil melalui Levant ke India, dan demikian juga dengan usaha Fitch ke Asia Tenggara, tetapi Newbery lenyap dalam perjalanan pulangnya dan pengalaman Fitch menunjukkan dengan jelas ketidakpraktisan jalan itu untuk perdagangan besar – besaran. Kemudian dalam abad XVI sampai pada kesimpulan bahwa saudagar – saudagar London menyadari bahwa satu – satunya jalan yang prakyis adalah mengelilingi Tanjung Harapan Baik.
Dengan peraturan kerajaan Perusahaan itu, yang terdiri dari seorang Gubernur dan 24 orang anggota panitia yang diangkat untuk mengorganisir sebuah expansi dagang ke Hindia Timur, diberi hak monopoli dagang di daerah antara Tanjung Harapan baik dan Selat Magelan selama kurun waktu 15 tahun. Armada Lancaster berangkat bulan Pebruari 1601 dan tiba di Aceh tanggal 5 Juli 1602 terus berlayar ke Banten.
Sementara itu Inggris disibukkan dengan usaha memperluas ruang lingkup perdagangan mereka. Mereka telah menemukan cara terbaik mendapatkan rempah – rempah adalah membuat barang – barang katun dan candu dari India untuk dijual dipelabuhan – pelabuhan rempah – rempah di Nusantara. Tahun 1609 mereka mulai mengadakan hubungan dengan kaisar Mughal, Jehangir, dan pada tahun yang sama menentang perlawanan Portugis yang kejam untuk memaksakan jalan mereka masuk kedalam perdagangan textile di India bagian Barat.
Di Siam, Raja Narai mencoba menghindar dari cengkraman Belanda dengan meminta Perancis masuk. Dan meskipun Louis XIV mencoba untuk menjalankan pengaruh yang penting disana tahun 1688. belanda tidak pernah berusaha lagi melangkahkan kaki ke Siam. Srilangka dan Malak masih tetap pusat penting kekuasaan Portugis. Di Srilangka Raja dari Kandy, Raja Singa, sangat ingin mandapat bantuan Belanda melawan benteng mereka di pelabuhan – pelabuhannya. Tahun 1638 armada Belanda dibawah Adam Westerwoldt datang membantu Raja Singa yang sedang berperang terbuka melawan Portugis. Sebagai imbalan Raja Singa menandatangani perjanjian memberikan monopoli kayu manis.
DARI EKSPANSI HINGGA KRISIS
Kurun niaga telah mengubah Asia Tenggara dan memungkinkannya menjadi pemeran penting dalam perdagangan dunia. Cengkeh, pala, lada dan kayu cendana yang dihasilkannya merupalan komoditas utama dalam perdagangan antar dunia. geografinya memungkinkan banyak terlibat dalam perdagangan maritim, sistem politiknya sangat terbuka bagi pengaruh dari luar. Melonjaknya jumlah rempah-rempah Maluku di Laut Tengah disebabkan sangat banyaknya armada Cina yang dikirim ke Asia Tenggara dan expor secara besar, tampaknya berawal sekitar tahun 1400. Puncak perdagangan yang sangat menguntungkan itu berlansung dalam tahun 1570-1630. Setelah itu mulai mengalami penurunan dan mencapai titik bawahnya pada tahun 1680.
Penyebab dari kemiskinan di Asia Tenggara dilihat dari hubungan antara penguasa dan rakyat dikarenakan pada masa itu, di Campa, Rakyat tidak bisa memiliki barang berharga. Sedangkan orang Kamboja hanya bisa memiliki harta selama diperkenankan Raja. Di Tongking, Vietnam Utara, sudah menjadi kebijakan Istana untuk tidak membiarkan rakyat kaya karena dengan itu mereka akan sombong. Itulah sebabnya rakyat di Cochin-Cina, Vietnam Selatan, ingin tampak lebih miskin daripada yang sesungguhnya. Mereka menguburkan uang dan barang-barang berharga. Begitu pula di Siam (Thailand) penduduk berusaha menyembunyikan barang yang bergerak. Di Birma pemerintah menghambat rakyat jadi kaya dan di Aceh raja tidak memperkenankan rakyat kuat dan orang kaya berusaha tidak menampakkan kekayaannya. Sebab itu di Mangindanao (Filipina) rakyat tak pernah berusaha kaya kecuali mencari sesuap nasi.
Braudel mengatakan dengan tanpa mengecilkan peranan dari individu dan keadaan, ia yakin bahwa masa pertumbuhan ekonomi selama abad ke-15 dan ke-16 menciptakan situasi yang senantiasa bermanfaat bagi negara-negara yang besar dan kecil. Dalam kurun niaga terjadi perubahan besar, kota-kota bermunculan dan menjadi makmur, daerah tertentu di Asia Tenggara beralih menganut agama besar yang universal dan sebagian besar penduduknya bergantung kepada perdagangan internasional untuk sumber hidup, pakaian bahkan makanan.
Kurun niaga ditandai oleh inovasi berkesinambungan, oleh penggunaan dan penerimaan secara terus menerus. Kota-kota berpasar yang multietnik itu menentukan derap perubahan dan menyebabkan orang-orang Asia tenggara terlibat dalam perdagangan dunia[6].
Perubahan-perubahan dalam loyalitas keagamaan sedikit banyakanya bersifat permanen. Masyarakat Islam, Kristen, Budha Theravada, Konfusius tetap tidak berubah dan pada satu pihak identitas-identitas itu memisahkan Asia Tenggara dan di pihak lain menyatukannya dengan umat agama yang sama di belahan bumi lain. namun bila diperhatikan ciri-ciri kebiasaan-kebiasan yang menyangkut kepercayaan masyarakat, tampak bahwa dalam kurun niaga muncul sikap menolak pada dunia nyata (material), jarak yang makin besar antara manusia suci dan bangkitnya ukuran-ukuran lahiriah mengenai moralitas personal, di samping persekutuan yang makin jelas antara negara-negara yang makin besar dan norma-norma lahiriah dari agama.
KESIMPULAN
Historiografi tidak terlepas dari data – data yang mendukung guna penulisan sejarah. Historiografi merupakan usaha pendataan sumber – sumber yang telah tersedia terhadap kajian – kajian kritis yang ada. Metode – metode dan pendekatan – pendekatan yang di dapat atau telah terbukti di manfaatkan untuk mempelajari bahan – bahan dan terhadap masalah teoritis yang berkaitan dengan penulisan sejarah.
Penelitian oleh sarjana – sarjana Asia yang semakin bertambah jumlahnya selama dua puluh tahun yang lalu, nampaknya akan membawa perubahan yang luar biasa atas pandangan N.J. Krom mengenai sejarah Jawa lama. Lalu mengenai inskripsi – inskripsi yang melimpah di Burma, Tiongkok, India atau Barat. Karya Krom yang monumental mengenai “ Hindoe-Javaanche Geschiedenis “ benar – benar berada dalam karya yang populer. Perubanah baru secara revolusioner yang terjadi di Asia Tenggara sejak perang dunia kedua tak dapat dihindarkan untuk mengadakan penelitian ulangt tentang konsepsi – konsepsi lama mengenai sejarahnya dan mencobakan suatu pandangan yang berorentasi ulang.
Adanya komoditi cengkeh, lada, dan bahan rempah lainnya menyebakan Asia Tenggara terlibat suatu arus perdagangan baik dengan antar kawasan Asia Tenggara maupun dengan Eropa. Orang – orang Eropa mulai menjelajahi tempat – tempat penghasil rempah – rempah untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka, yaitu orang – orang Eropa tersebut. Braundel mengatakan bahwa masa pertumbuhan ekonomi selama abad ke-15 dan ke-16 mencipatakan situasi yang senantiasa bermanfaat bagi negara – negara besar dan sebagian besar penduduk Asia Tenggara bergantung kepada perdagangan internasional untuk sumber hidup. Dalam kurun niaga terjadi perubahan besar, kota-kota bermunculan dan menjadi makmur.
REFERNSI
[Dr. w. Poespopronjo, L. ph., S.s, Subyektifitas Dalam historiografi, Remadja, Karya CV Bandung, 1987, Hal 1
Jan Romein, In de Hof der Historie, Amsterdam, 1951, Hal 75-76
Soedjatmoko, Mohammad Ali, G. J. Resink, G. McT. Kahin, Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, Hal 41
op sit, Hal 70
D. G. E. Hall, Sejarah asia Tenggara, Usaha Nasional, Surabaya, Indonesia, Hal 218
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, hal 27
[1] Dr. w. Poespopronjo, L. ph., S.s, Subyektifitas Dalam historiografi, Remadja, Karya CV Bandung, 1987, Hal 1
[2] Jan Romein, In de Hof der Historie, Amsterdam, 1951, Hal 75-76
[3] Soedjatmoko, Mohammad Ali, G. J. Resink, G. McT. Kahin, Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, Hal 41
[4] op sit, Hal 70
[5] D. G. E. Hall, Sejarah asia Tenggara, Usaha Nasional, Surabaya, Indonesia, Hal 218
[6] W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, hal 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar