Sabtu, 14 Januari 2012

TERBENTUKNYA ORGANISASI SUBAK

Subak merupakan organisasi pengairan  yang terdapat di Pulau Bali yang sampai sekarang masih dapat dilihat keberadaannya. Organisasi ini merupakan wadah bagi sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama akan air dalam suatu wilayah dengan aturan-aturan tertentu yang mengikatnya.Munculnya sistem irigasi ini tidak dapat dilepaskan dengan latar belakang sejarah di Pulau Jawa, khususnya sejarah Jawa Timur. Berdasarkan beberapa peninggalan prasasti yang terdapat masa kerajaan-kerajaan di jawa Timur membuktikan bahwa pertanian sawah merupakan matapencaharian yang penting. Karena itu sistem irigasi yang dimilikinya tentu sudah terorganisir dengan baik.Perpindahan penduduk karena suatu hal dari Pulau Jawa ke Bali tentu berpengaruh juga terhadap perpindahan budaya yang dimilikinya dengan berbagai konsekuensinya, termasuk sistem irigasi yang dimilikinya.Inilah yang menyebabkan semakin mepurnanya sistem irigasi di Bali yang sudah ada sebelumnya, kemudian dikenal dengan nama Subak. 

Peninggalan kebudayaan tertua dari bangsa-bangsa di dunia pada umumnya terdapat di tepi-tepi sungai (air), karena di daerah tersebut sebagai daerah yang subur. Di daerah inilah terdapat aktivitas manusia sehingga banyak diketemukan berbagai hasil kebudayaannya, seperti kebudayaan India terdapat di lembah Sungai Indus, Gangga, di Mesopotamia terdapat di Sungai Euphrat dan Tigris. di Cina terdapat di di Sungai Hoang-ho, di Mesir terdapat di Sungai Nil, dan sebaginya. Di Indonesia kebudayaan tertua banyak juga terdapat di sekitar sungai seperti; pada masa pra-sejarah di lembah Sungai Bengawan Solo, masa Hindhu-Budha terdapat di Sungai Mahakam (Kutai), Sungai Citarum (Tarumanagara), Sungai Progo (Dinasti Sanjaya dan Saelendra di Jawa- Tengah), Sungai Brantas (Kerajaan Kanjuruhan dan Kerajaan-kerajaan lainnya di Jawa-Timur), dan sebagainya. Ini membuktikan begitu pentingnya peranan air demi kelangsungan hidup manusia sejak dahulu. Sesuai dengan kemampuan tingkat berpikir manusia, bahwa sejak pra-sejarah mereka sudah mengenal dan menyadari akan pentingnya peranan air. Karena itu berdasarkan pandangan Robert Von Hiene Gelderen,bahwa bangsa Indonesia sejak jaman megalithik sudah mengenal unsur-unsur kebudayaan yang penting, diantaranya, menanam padi, memiliki alat-alat pemotong padi. Senada juga dengan pandangan Brandes, bahwa dari sepuluh unsur kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia salah satu diantaranya adalah sudah mengenal menanam padi sawah (Wiryosuparto, 1958:2-40. Bahkan berdasarkan kronik cina tahun 132 M, disebutkan nama Yawadwipa dengan raja-nya bernama Dewawarman yang mengirimkan utusan ke Cina. Nama Yawadwipa dikenal juga dengan nama Pulau Jelai, Pulau Jawawut, yang dimungkinkan nama ini identik dengan nama padi(Wojowasito, 1952,25).Ada juga yang mengatakan bahwa nama Pulau Jawa identik dengan pulau emas (Javadvipa), seperti Sumatra (Svarnabhumi). Emas yang dimaksudkan disini adalah emas hijau yaitu hasil-hasil perkebunan dan pertanian yang harganya setaraf emas sebagai logam mulia.

Pertanian Sawah Masa Klasik di Jawa Timur
Sejarah klasik Bali secara utuh tidak dapat dilepaskan dari sejarah pulau Jawa. Begitu juga secara politik peranan Sumatra  dibawah Kerajaan Sriwijaya tidak dapat dilepaskan terhadap peristiwa sejarah di Pulau Jawa. Jadi pergeseran pengaruh dari arah barat (Sriwijaya) ke arah timur sampai di Pulau Bali membawa berbagai macam dampak budaya. Ini berdasarkan temuan-temuan prasasti yang sudah diterbitkan. Bermula dari prasasti Kota Kapur (686 M) tentang perluasan kekuasaannya ke pulau Jawa yaitu dengan menundukkan To-lo-mo (Tarumanagara). Kemudian terjadi pelarian ke Jawa-Tengah ditandai dengan berdirinya Dinasti Sanjaya berdasarkan prasasti Canggal berangka tahun 732 M (Muljana, 1980:5-6). Menurut Casparis, di Jawa-tengah juga terjadi konflik antara Dinasti Sanjaya dengan Saelendra yang menyebabkan terjadi perpindahan ke Jawa-Timur yaitu ditandai dengan munculnya Kerajaan Kanjuruhan yang terdapat di Kota Malang (Purbatjaraka, 1976:92). Dari Jawa-Timur terjadi lagi perpindahan ke Bali berdasarkan prasasti Sukawana I, dan inilah diperkirakan sebagai bukti awal pengaruh Jawa ke Bali dengan segala budaya yang dimiliki, kemudian semakin menyempurnakan budaya setempat termasuk dalam teknologi pertanian (Goris, 1948, 3).
Sejak abad ke IX sudah terjadi imigrasi secara besar-besaran dari Jawa ke Bali sampai abad ke XVI yang sangat terkait dengan kedatangan Islam pada masa Kerajaan Majapahit(Rebequqin, 1958:240-241). Pada saat inilah diperkirakan terjadi perkembangan pertanian sawah yang dikelola oleh lembaga Subak yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari sawah kering atau tegalan yang sebelumnya dimungkinkan pernah
dilaksanakan di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur. Dan nampaknya teknologi ini kemudian berkembang di Bali melalui organisasi Subak(Rebequqin, 1958:243).
Pernyataan semacam ini pernah juga dilontarkan oleh Ir.P.L.E. Happe, bahwa dimungkinkan Subak yang dikenal di Bali sudah menjadi adat sebelumnya di Pulau Jawa.
Dia adalah seorang direktur pekerjaan umum di masa Hindia Belanda (1916-1919) yang berpusat di Singaraja. Menurutnya, berbagai petunjuk bahwa persubakan di Bali baik dalam lapangan administrasi maupun teknik membuktikan, adanya pengaruh dari Pulau Jawa sejak jaman Hindu yang merupakan daerah rampasan Majapahit. Di daerah Pasuruan, dimana Hindhu paling lama bertahan, disini banyak ditemukan bendungan-bendungan tanah yang tinggi, dibangun dari endapan tanah seperti di Bali.
Di Pasuruan terdapat juga istilah  pipil (tanda kepemilikan tanah) yang dikeluarkan oleh kepala desa, dimana dalam pipil tersebut tercantum luas tanah, nama pemilik dan jumlah pajak yang harus di bayar. Begitu juga dengan terowongan-terowongan pengairan seperti di Bali, terdapat juga di Jawa-Timur yaitu di daerah Jombang (ANRI Bendel 135:10-11). Pernyataan Happe dapat diterima karena kata Subak baru dikenal di Bali berdasarkan berita tertulis (prasasti) pada abad XI. Nampaknya peranan pertanian sawah (padi) sudah sangat penting di Jawa-Timur dengan memanfaatkan peranan Sungai Brantas.
Pertanian padi sawah menurut Sutjipto Wiryo Suparto yang dikenal di di Jawa dan Asia Tenggara lainnya berasal dari kebudayaan Dong-son, pertama diperkenalkan di daerah lembah sungai, termasuk di daerah aliran Sungai Brantas di Jawa-Timur. Di daerah inilah kemudian poada awalnya dibuat dam-dam sebagai upaya penguasaan terhadap alam oleh manusia dalam sejarah yang panjang, sehingga muncullah bercocok tanam di sawah(Meer, 1979:1-3).
     Peranan air sangat sentral dalam pertanian sawah, karena itu peranan Sungai Brantas juga tidak dapat dikesampingkan dalam aktivitas pertanian di daerah-daerah yang dilaluinya sampai di Surabaya (Suparto, 1953:64). Di Jawa Timur sampai saat ini diperacaya prasasti tertua yang memuat tentang pembuatan bendungan suci adalah prasasti Turyan (929 M). Prasasti ini dikeluarkan pada masa Sindok yang sampai sekarang masih berada di Dukuh Godeg, Kelurahan Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. Dalam baid ke-6 terdapat kalimat ing lwah mwang lor. Kalimat tersebut menunjukkan wilayah Turen dialiri oleh sungai yang berasal dari utara yang tidak jarang mengalami luapan apalagi di musim hujan (Damais, 1955: 55). Bendungan tersebut dikatakan suci karena airnya dimanfaatkan untuk mengairi daerah-daerah sekitarnya sehingga muncul daerah persawahan sebagai sumber kehidupan (amerta).
 Prasasti Sindok lainnya adalah prasasti Gulung-gulung (929 M), tentang penetapan sima di Bantaran sebagai daerah sawah yang hasilnya nanti dipersembahkan bagi Sang Hyang Kahyangan i Pangawan. Prasasti Pradah (934 M), yang pada baid ke-5 terdapat kalimat watak i tani, yang membuktikan bahwa bertani adalah mata pencaharian masyarakat setempat. Prasasti Wulig (935 M), yang dikeluarkan oleh Rakryan Binihaji Mangibil, dimungkinkan adalah istri dari Sindok yang memberikan informasi tentang perintah kepada Samgat Sesuhunan supaya daerah Wulig dan sekitarnya membuat dauhan guna mengatur pengairan di Kahulunan, Wuatan Wales dan Wuatan Tamya (Damais, 1955:121).Terdapat juga kata pangawan yang identik dengan bengawan yaitu sungai yang besar, kata dauhan yang identik dengan weluran atau tlabah di Bali yaitu saluran primer yang mengalirkan air ke saluran skunder hingga ke sawah.
     Pada masa Erlangga, berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037) yang menyebutkan Sang Hyang Banawan yang sering merusak daerah persawahan dan desa-desa yang ada di daeah hilir karena banjir. Untuk mengatasi semua ini dibangunlah bendungan Waringin Sapto sehingga bersuka citalah para petani dan nelayan. Nama bendungan ini bernama Waringin Pitu, dan isi prasasti ini juga menunjukkan bahwa Sungai Brantas bukan saja berfungsi untuk persawahan, tetapi juga untuk para nelayan atau transfortasi air (Poesponegoro, 1984:182-183). Pada masa Singasari informasi serupa juga terdapat dalam kitab Negarakertagama dan Pararaton. Dalam Kitab Negarakertagama pupuh XL baid ke-2 berisi tentang; putra Girinata di lahirkan di sebelah timur Gunung Kawi, daerah yang terkenal subur dan makmur di bawah kekuasaan Tumapel. Kalau dilihat sekarang, daerah yang dimaksud adalah sekitar daerah Malang yang mata pencaharian utama penduduknya adalah pertanian dan perkebunan (Pitono, 1974:138). Dalam kitab Pararaton disebutkan, Dewa Wisnu berusaha mencari orang untuk melahirkan putranya yang akan menjadi penguasa Jawa, suatu saat Dewa Wisnu bertemu dengan seorang petani (pengantin baru) bernama Gajah Para dan Ken Endok di sebelah timur Gunung Kawi. Ini artinya kitab Pararaton  juga memberikan informasi tentang mata pencaharian penduduk setempat yaitu petani sawah (Padmapuspita, 1966:47-48).
Demikian juga dengan sejarah Subak, sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang bidang irigasi. Walaupun secara pasti kapan dikenalnya kata Subak, tetapi diperkirakan sejak dikenalnya kata itu masyarakat setempat sudah mengenal teknologi pengairan yang baik. Menurut Korn organisasi serupa terdapat juga di Madagaskar dan Philipina, di sebelah utara Luzon yang bernama pasayak
( Meer, 1979,41-42). Berdasarkan data archeologi diperkirakan Subak sudah dikenal pada abad XI M yaitu berasal dari kata kasuwakan. Kata ini terdapat di dalam prasasti Klungkung A, B dan C (tahun 1072 M), prasasti Pengotan (tanpa tahun) dan prasasti Buwahan D (tahun 1181 M) dari raja Jayapangus (Setiawan, 1995:104-105). Disebutkan juga, bahwa  subak adalah organisasi yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki sawah yang memperoleh air dari sumber yang sama, serta mempunyai kebebasan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Berdasarkan penemuan prasasti di Bangli, informasi tentang Subak sudah ada sejak tahun 882 M berdasarkan prasasti Sukawana yang terdapat di desa Sukawana. Dari ketiga prasasti tersebut diatas, dua di antaranya terdapat di Kabupaten Bangli yaitu prasasti Buwahan di Kecamatan Kintamani dan Prasasti Pengotan di Kecamatan Bangli.
Menurut Sukarto Karto Atmodjo(1985:41) berdasarkan temuan prasasti, paling tidak terdapat 19 (sembilan belas) nama kasuwakan yang tersebar di Pulau Bali, sebagaian besar terdapat disekitar Danau Batur Kabupaten Bangli,beberapa daerah di Kabupaten Gianyar , terdapat di desa Malet-Gede di sebelah utara Tampak Siring. Dari prasasti yang didapatkannya banyak mencantumkan kata karaman yang dimaksud adalah Krama Subak yang dikenal sekarang. Pandangan ini mendapat dukungan dari Goris yang dimungkinkan teknologi pertanian sudah dilaksanakan sejak tahun 882 M, karena sejak itu sudah diketemukan kata huma berdasarkan prasasti Sukawana I yang terdapat di Kecamatan Kintamani. Berdasarkan kondisi geografisnya tentu pertanian sawah bukan mata pencaharian utama, tetapi perkebunan dan berburu yang menyebutkan kata nayakan buru yang berarti berburu(Wardhana, 1983, 23-28). Namun demikian pada abad XI dikenalnya sistem Subak tidak perlu disangsikan lagi. Ini dapat dipertegas dengan dikeluarkannya prasasti oleh Raja Marakata tahun 1023 M. Dalam prasasti ini terdapat istilah-istilah; amabaki (menebang hutan), amaluku (membajak), atanem( menanam), amaum (menyiangi?), ahani (menuai padi), dan anatu yang berarti menumbuk padi (Atmodjo, 1983:3). Istilah-istilah lain sekarang dikenal adalah ngelampit(membajak), memule(menanam padi), mejukut(menyiangi padi), manyi(menuai padi) dan nyugsug yang berarti menumbuk padi.

Munculnya Organisasi Subak di Bali
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut diatas, bahwa Jawa khususnya Jawa-Timur lebih dahulu mengenal sistem pertanian sawah kemudian disempurnakan lagi setelah pengaruh tersebut sampai di Bali. Tentu ini sangat berkaitan dengan datangnya orang Hindhu Jawa ke Bali dengan budaya yang dimilikinya, termasuk budaya bercocok tanam dengan teknik pengairannya. Kadatangan ini mengakibatkan pembauran dengan masyarakat setempat, diantaranya melalui perkawinan. Pandanga Goris dapat dipakai sebagai acuan dalam hal ini, berdasarkan pada latar belakang sejarah. Bahwa Gunapriyadharmapatni (Mahendradata), cucu dari Sindok kawin dengan Raja Bali Udayana berdasdarkan prasasti Pucangan tahun 1042 M. Sehingga tidak mustahil juga hal serupa terjadi pada masyarakat secara umum atau rakyat dari kedua belah pihak(Goris, 1967:23). Nampaknya dengan perkawinan ini akan berpengaruh terhadap mobilitas manusia dari Jawa ke Bali, termasuk budaya yang dimilikinya. Apalagi hasil perkawinan tersebut lahirlah Erlangga yang menjadi penguasa di Jawa Timur dan adiknya bernama Anak Wungsu tetap di Bali. Sejak itulah hubungan Jawa-Bali nampak lancar disegala bidang yang tidak nampak sebelum bahkan sesudahnya. Ini dapat dimaklumi karena pada waktu itu baik Jawa maupun Bali ada dibawah kekuasaan Dinasti Warmadewa (Graaf, 1949:48). Begitu juga pada masa Majapahit dengan maha patihnya Gajah Mada, sudah mengadakan ekspansi ke Pulau Bali tahun 1343 M. Dan dengan runtuhnya Majapahit tahun 1478 M terjadilah eksodus secara besar-besaran ke Bali, sehingga sampai sekarang di Bali dikenal istilah penduduk Bali Age (Bali asli) dan Bali Majapahit (Muljana, 1979:36). Jadi  kemajuan di Jawa, khususnya di Jawa-Timur baik dalam bidang politik, keagamaan, kesusastraan, ekonomi tidak terkecuali teknologi pertanian akan berakibat juga terhadap kemajuan Bali(Shastri, 1963:19).
     Latar belakang sejarah tersebut diatas sangat sesuai dengan keadaan masyarakat di Bali pada umumnya.Di Bali terdapat masyarakat yang dikriteriakan Bali Age dan Bali Majapahit, disamping keadaan serupa terdapat juga di daerah Tenganan Pangringsingan (Kabupaten Karangasem) dan di desa Sembiran, Cempaga, Sidetapa, Pedawa, Tigawasa (Kabupaten Singaraja) dan di Kabupaten Bangli yang termasuk Bali Age adalah Desa Trunyan (Kecamatan Kintamani) yang sampai sekarang tidak mengenal sistem Subak. Apakah karena kondisi geografis sehingga tidak mungkin bermatapencaharian pertanian sawah atau karena faktor sejarah, bahwa mereka bukan para pendatang dari Jawa atau tidak mendapat pengaruh budaya Jawa dalam bidang pertanian. Mereka juga tidak mengenal sistem kasta, seperti masyarakat Bali lainnya sebagai indikasi mereka tidak mendapat pengaruh Hindhu Jawa (Danandjaja, 1980:196-197). Hal ini dibuktikan dengan matapencaharian mereka adalah bercocok tanam di ladang, menurut Danandjaja perladangan bukan termasuk shifting agriculture, tetapi rudimentary sedentary cultivition yaitu bercocok tanam tanpa irigasi yang menetap. Begitu juga dengan pemujaan  terhadap para dewa, mereka hanya mengenal Dewa Bukit Tunggal, Bukit Hyang. Mereka tidak mengenal upacara pembakaran mayat (ngaben), tetapi mayat hanya diletakkan begitu saja di bawah pohon dipinggir danau. Melihat cara hidup ini, mereka bisa dogolongkan sebagai penganut kepercayaan animesme  dan dinamisme, mereka mempunyai kepercayaan tidak seperti masyarakat Bali pada umumnya, mereka percaya bahwa mayat mereka akan hilang dengan sendirinya, apabila perbuatan mereka selama hidup baik dan apabila perbuatan mereka tidak baik, mayatnya akan dimakan dan dirobek-robek oleh anjing (Shastri, 1963:89-90).
     Dari uraian tersebut mudah-mudahan dapat memberi pandangan latar belakang sejarah munculnya sistem Subak di Bali. Permasalahan yang sering muncul adalah, siapakah yang memprakarsai berdiri-nya Subak, atas inisiatif rakyat atau raja atau penguasa. Menurut Happe sejak tahun 1916-1919 mengadakan pengamatan terhadap Subak bekas kerajaan Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung dan Bangli, bahwa berdirinya bangunan-bangunan irigasi merupakan dorongan pribadi dari raja atau punggawa-punggawanya karena ingin memproleh keuntungan pribadi. Dengan cara memerintahkan rakyatnya membangun bangunan irigasi tersebut sehingga tanah-tanah yang terairi akan mempunyai nilai atau harga yang lebih tinggi. Raja terlebih dahulu mengadakan observasi terhadap keadaan tanah, apabila keadaan tanah suatu daerah memungkinkan diairi, maka raja mengumpulkan sejumlah orang untuk menggarap tanah dengan luas berdasarkan perkiraan saja.
Penghargaan yang diberikan kepada penggarap adalah; penggarap memproleh hak penuh untuk menikmati hasil tanah yang dikelola-nya dalam waktu tiga tahun pertama sampai proses pengairan tersebut dianggap lancar. Kemudian dalam tahan berikutnya, para penggarap diberi hak penuh untuk menyewanya. Dengan lancarnya saluran air kemudian dimulailah pembangunan-pembangunan irigasi dan bersamaan dengan itu diangkat seorang pejabat oleh raja untuk hal-hal yang menyangkut penanaman padi. Pejabat ini melaksanakan semua pekerjaan untuk memperlancar proses irigasi seperti, menyusun peraturan-peraturan kerja, membangun bendungan dan terowongan dengan bantuan rakyat. Karena itu Subak semacam ini tidak mempunyai aturan tertulis, tetapi dikenal hanya berdasarkan adatnya saja (ANRI, 1916, Bendel 135:7-8).
Happe mengakui juga tidak semua proses berdirinya Subak di Bali seperti itu, kecuali Bali Utara (Singaraja), dan Bali Timur (Karangasem) karena di kedua tempat tersebut sudah mengenal aturan Subak secara tertulis.  Menurut pandangan Polderman dan Graad van Borgen bahwa Subak semacam itu pada mulanya tumbuh bukan karena pengaturan air, tetapi dari pembukaan tanah-tanah hutan, tanah-tanah tandus dan tegalan yang kemudian dijadikan sawah. Bersamaan dengan itu dibuat juga bangunan-bangunan irigasi seperti dam, terowongan (aungan), pembagian air (temukuan) dan sebagainya. Para pembuka tanah yang pertama ini bersama-sama menghimpun diri dalam suatu perkumpulan yang bernama Sekeha atau Seke sebagaimana yang dilakukan oleh orang Bali sejak dahulu. Pada masa Hindia Belanda, peranan Punggawa sangat besar dalam hal ini sebagai kepanjangan tangan dari raja. Walaupun tidak di sangkal juga bantuan raja dalam pembuatan bangunan irigasi tersebut dalam bentuk uang tidak sedikit, disamping bantuan tenaga oleh rakyat yang bersifat wajib (ANRI, 1916, Bendel 135:35-36).Dalam sumber ini terdapat juga informasi kisah perjalanan Polderman dan Graad van Boregen pada waktu datang di Bali dan Lombok tahun 1915. Mereka melihat bahwa organisasi Subak itu muncul bukan semata-mata dar hati nurani rakyat saja, tetapi juga karena perintah atasan.  Contoh semacam ini dapat dilihat pada masa Disnasti Mengwi, bahwa pada abad-18 daerah Mengwi sebagian besar adalah daerah hutan kemudian dirobah menjadi daerah persawahan. Untuk mengairi daerah-daerah tersebut Raja membuat dam bernama Dam Gumasih. Kemudian Raja menunjuk seorang pejabat bernama Sedahan yang dibantu oleh Mekel yang bertugas, (1) memperbaiki dan memelihara dam dengan pengikut-pengikutnya, (2) mengkoordinasikan dan mengalokasikan air ke sawah-sawah,dan (3) mengurus sawah dan hasil-hasil bumi untuk puri(Noedholt, 1996:55-56). Dia juga mengatakan bahwa pendirian dam sebagai upaya politik kerajaan yaitu untuk tetap mengikat kesetiaan rakyat maupun kerajaan yang lain, terutama yang mendapat aliran air dari dam Gumasih seperti kerajaan Badung.
Didaerah lain, kususnya di Kabupaten Bangli hal semacam itu juga pernah terjadi berdasarkan prasasti Taman Bali. Subak Gede Taman Bali yang berasal dari tahun 1775 M. Disebutkan, "....sepemadegan Raja Taman Bali sane meparab Ida I Dewa Gede Raka Oka, ....Raja sareng Bagawanta mepikayun ngardi sarana merta kauripan jagad mangda penegalan ring Taman Bali side ngepolihang toyo keanggon carik....". Artinya, Semenjak berkuasanya raja Taman Bali yang bernama Raja Ida I Dewa Raka Oka, Raja bersama dengan Bagawan (Pedanda) menginginkan membuat sarana kehidupan supaya daerah tegalan di Taman Bali bisa mendapatkan air sehingga menjadi sawah (Awig-Awig Subak Gede Taman Bali,1996:i).Pembangunan sawah yang utama, setelah itu barulah dibangun parahyangan(pura) untuk Dewi Sri bernama Pura Masceti di tempat permandian Ida Sanghyang Aji Jaya Rembali.
 Menurut Happe, kalau melihat kondisi sistem irigasi dari Subak di Bali ada persamannya dengan sistem pengairan di Belanda yang bernama polderwezen. Sistem ini memiliki dua syarat penting yaitu, (1)adanya kesatuan dalam hak atas air, dan (2) adanya hubungan yang amat erat sekali antara teknik pengairan dengan organisasinya yang berbadan hukum yang berdasarkan kepentingan perairan bersama di suatu daerah (ANRI, 1916, Bendel 137:37).

Kesimpulan
Organisasi yang bergerak di bidang irigasi seperti Subak di Bali, berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada bukan di didominasi oleh satu negara saja. Di negara lain baik di Asia maupun Eropa memiliki organisasi semacam Subak. Namun demikian, yang membedakan Subak dengan dengan organisasi Irigasi yang terdapat di daerah lainnya adalah keterlibatan anggota Subak yang bersifat totaliter. Artinya setiap anggota Subak mempunyai keterlibatan terhadap organisasinya dalam kepentingan ekonomi,naluriah,dan religius. Hal inilah yang menyebabkan Organisasi Subak di Bali sampai saat ini dapat berjalan dengan baik.
Cara kerja Subak semacam inilah yang menyebabkan mengapa tidak dapat dilaksanakan di daerah lain, walaupun secara geografis sama. Naluri dan keterikatan antara matapencaharian dengan sistem kepercayaan yang dimiliki belum menjadi kesatuan, sehingga matapencaharian hanya dilihat dari sudut pandang bisnis saja. Subak di Bali keterikatan antar anggotanya bukan saja dipertanggungjawabkan dengan sesama angota (horisontal),tetapi juga dengan Yang Maha Kuasa (vertikal). Hal ini dibuktikan dengan adanya tempat persembahyangan bersama yang menjadi tanggungjawan setiap anggota Subak dalam suatu wilayah tertentu. Namun demikian berdasarkan latar belakang sejarah klasik Indonesia, proses penyempurnaan dar sistem Subak di Bali tidak lepas dari transformasi budaya oleh para pendatang dari Jawa ke Bali.


Daftar Pustaka
Atmodjo, 1983.Data Perundagian di Dalam Prasasti Bali Kuno. Diskusi Ilmiah Archeologi tanggal 3-4 Juli 1985.
Damais. 1955. Bulletin de L’Ecole Prancaise. Paris:Impremerie Nationale.
Danandjaja,J. 1980.Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta: Pustaka Jaya.
De Graaf,H.J. 1949. Geschiedenis van Indonesie. Bandung: NV. Uitgeverij W. Van Hoeve.
Een Beschuawing Over Het Zuid Balinece Soebakwezen En Zijn Verwording in Verband Met de Voorgenomen  Vorming van Waterschappen In Ned-Indie.1916. Jakarta: ANRI Bendel 135.
Goris. 1948. Sejarah Bali Kuno. Singaraja: tanpa penerbit.
_____. 1967. Ancient History of Bali. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Meer,V.D. 1979. Sawah Cultivation in Ancient Java. Cambera: Australian National Press.
Muljana,s. 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
_________.1980. Dari Holotan ke Jayakarta. Jakarta: Idayu.
Nordholt,S.H. 1996. The Speel of Power. A History of Balinese Politics 1650-1940. KITLV Press.
Pandit Shastri, N.D. 1963. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar: Bhuwana Saraswati.
Padmapuspita. 1966. Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa.
Pitono. 1964. Tentang Kelahiran Ken Arok. Majalah Ikatan Sarjana Sastra Indonesia.Poesponegoro,dkk. 1992. Sejarah nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Porbatjaraka. 1976. Riwayat Indonesia I. Tanpa penerbit.
Reglement van de Soebak Silangdjana in Boeleleng. 1916. Jakarta: ANRI Bendel 137.
Robequqin,C. 1958. Malaya, Indonesia, Borneo and The Philippines. A Geographical, Economic and Political. New York: Logmans, Green and Co.
Setiawan,K. 1995. Subak: Organisasi Irigasi Pada Pertanian Sawah Masa Bali Kuno. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia.
Wardhana,I.W. 1983. Perdagangan Dan Komuditi Dalam jaman Bali Kuno.PIA di Ciloto, tanggal 23-28 Mei 1983.
Wirjosuparto,S. 1964. Apa Sebabnya Kediri dan Daerah-daerah Sekitarnya Tampil Kemuka Dalam Sejarah. Kongres Ilmu Pengetahuan nasional I, tanggal 3-9 Agustus di Malang.
Wojowasito. 1952. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Djakarta: Siliwangi NV.

1 komentar:

  1. microtouch titanium trim: This is a fantastic choice for your pocket
    In this video, we take a look at titanium automatic watch the nano titanium by babyliss pro latest design innovation, microtouch titanium trim, available on Microtouch. titanium wedding ring Microtouch titanium oxide is the leading premium titanium apple watch Micro-Tin

    BalasHapus